Senin, 06 Februari 2012

Hubungan Antara Moral Dengan Hukum Pada Kasus Penghentian Penyidikan Kasus Nila

Abstract

Relation between morality and law always be interest for discussing. This matter has relevancy in Nila case. Indonesian police in Surabaya release Surat Perintah Penghentian Penyidikan related Nila case. Nila has been suspected for killing toward Agus, a navy soldier. After a taking for due process of law toward Nila, Indonesian police in Surabaya released SP3. In the furthermore, nila case can not be processed in the court. A navy seal institution rejects the Surat Perintah Penghentian Penyidikan from Indonesian Police in Surabaya because it did not base a legal reasoning. In the end, a navy seal institution takes a legal action by taking a Pra peradilan process in Surabaya court.

The Releasing of Surat Perintah Penghentian Penyidikan by Indonesian police in Surabaya was an interesting topic to indentify the relation between Law with Morality. The Academic field required a more explanation, not merely the morality of court decision but include the morality of due process of law. The morality of law always consider the philosophy aspect of law enforcement. A due process of law don’t merely enforce about norms and Also enforcing a juctice,legal certainty, and legal truth. A Decision of Indonesian police in Surabaya raise a problematic law enforcement, especially the morality in due process of law.

Key words :

Surat Perintah Penghentian Penyidikan, Morality, Law

I. LATAR BELAKANG

Beberapa waktu lalu, Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya menghentikan penyidikan Kasus Nila. Nila telah menghilangkan nyawa dari Agus (seorang prajurit TNI AL). Pada saat pemeriksaan, polisi tidak dapat menemukan unsur pidananya karena motif yang dilakukan oleh Nila adalah daya paksa. Kepolisian juga menggunakan alasan diskresi dalam penghentian penyidikan tersebut. Penghentian penyidikan tersebut diprotes oleh TNI AL. Pihak Angkatan laut berpendapat bahwa pembuktian unsur daya paksa seharusnya tidak dilakukan oleh kepolisian tetapi dilakukan oleh pengadilan. Menurut pihak Angkatan Laut kasus Nila harus diteruskan di pengadilan.

Keberanian kepolisian wilayah kota besar Surabaya menghentikan penyidikan Kasus Nila merupakan fenomena pertama dalam dunia kepolisian. Dalam Kitab Hukum Acara Pidana, pasal 7 ayat 1 huruf i menyatakan bahwa polisi sebagai penyidik mempunyai kewenangan mengadakan penghentian penyidikan. Namun KUHAP tidak pernah mengatur kriteria yang digunakan untuk menghentikan penyidikan tersebut. Pasal 16 ayat 1 huruf J UU kepolisian juga mengatur kewenangan penghentian penyidikan.

Pada sisi lain, UU kepolisian, Pasal 18 ayat (1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri. Pada bagian penjelasan pasal 18 ayat 1 ini, dikemukakan Yang dimaksud dengan "bertindak menurut penilaiannya sendiri" adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum. Pada kasus Nila, polisi menggunakan alasan diskresi (kewenangan bebas) untuk menghentikan penyidikan. Kewenangan diskresi ini dirumuskan terlalu luas dan tak ada bentuk pertanggungjawabannya.

Langkah polisi menghentikan penyidikan kasus nila tersebut akhirnya dipersoalkan oleh pihak angkatan laut melalui mekanisme pra peradilan. Polwiltabes Surabaya kalah dalam sidang gugatan pra peradilan yang diajukan oleh Komando Armada Timur (Koarmatim) TNI AL di Pengadilan Negeri Surabaya, Senin (18/02). Dalam sidang yang dipimpin NELSON PASARIBU SH memutuskan permohonan gugatan Koarmatim TNI AL diterima. Polwiltabes mengajukan banding ke pengadilan tinggi dan pengadilan tinggi juga tetap menguatkan putusan dari pengadilan negeri Surabaya yang mengabulkan gugatan pra peradilan dari komando armada timur.

Selama ini, Hukum acara pidana tidak pernah mengatur kriteria yang harus digunakan oleh kepolisian untuk menghentikan penyidikan. Selain itu, pada praktek penyidikan, kewenangan diskresi kepolisian hanya dipahami dalam perspektif penggunaan penahanan dan penggunaan saksi ahli. Selain itu, diantara teoritisi hukum pidana pada umumnya berpendapat bahwa perbuatan pidana terpisah dengan pertanggung jawaban dan kesalahan. Unsur kesalahan dan pertanggungjawaban harus dibuktikan di pengadilan. Kepolisian tidak boleh menilai ada atau tidaknya unsur kesalahan dan pertanggungjawaban pada sebuah perbuatan pidana. Pendapat ini sepertinya diabaikan oleh pihak kepolisian wilayah kota besar Surabaya dan kepolisian menggunakan kewenangan bebas untuk menghentikan penyidikan kasus Nila.

II. PERMASALAHAN

Dengan latar belakang tersebut permasalahannya adalah :

Moralitas hukum penghentian penyidikan oleh kepolisian pada kasus NILA

III. PEMBAHASAN

Mendefiniskan hukum bukan hal yang mudah. Oleh karena itu pada konteks ini maka digunakan definisi hukum menurut Dworkin. Dworkin berpendapat bahwa …law is a matter of which supposed rights supply a justification for using withholding the collective force of the state because they are included in or implied by actual political decision of the past ( dworkin law’s empire. P.97; Between natural law and legal positivism ; dworkin and hegel on legal theory, Thom brooks, B.A ). Selanjutnya, dworkin coba menghubungkan moral dalam menginterpretasikan aturan hukum; sebagaimana itu terlihat pada…… interpreting the meaning of valid legal rules it is often necessary to consult moral principles………. In his view, morality does not enter the picture independently from the legal system; but, rather, morality emerges from within it: certain moral principles are embedded in our positive laws (dworkin law’s empire. P.10). Dalam konteks ini, Neil Maccormick mendefiniskan law is institusiona (The Concept Of Law and The Concept Of Law, Neil maccormick, the authonomy of law, essay on legal posivism, edited by Robert P. george. P. 164). Pada Institutional character of law ini, H.L.A. Hart salah satunya mengajukan pertanyaan bantu untuk memahami sebuah hukum, yaitu how does legal obleigation differ from and how is it related to, moral obligation ?(Hart, the concept of law p. 13) . Pada dasarnya legal rule dan moral merupakan standard berperilaku. Hanya saja Kewajiban hukum memiliki sifat forcefull dan tidak sekedar correct or acceptable. Oleh karena itu sebenarnya, bukan berarti moral tidak dipakai dalam memahami hukum hanya saja moral harus ditempatkan sebagai inspirator untuk menginterpretasikan kewajiban hukum.

Penanaman Nilai Moral Dalam Interpretasi System Hukum Pidana

Merujuk kasus Nila, Nila memang telah menghilangkan nyawa Agus, dalam hal mana diancam oleh pasal 338. Demikian bunyi pasal 338 “ barang siapa dengan sengaja menghilangkan jiwa orang lain dihukum karena makar mati dengan hukuman penjara selama-lamanya lima belas tahun ( KUHP R. Soesilo) . Namun, kepolisian berpendapat bahwa pasal 49 KUHP dapat diterapkan pada kasus Nila. Demikian rumusan pasal 49 KUHP.

Pasal 49 (Soenarto Soerodibroto S.H.)

(1) tiada boleh dihukum barang siapa melakukan perbuatan yang terpaksa dikerjakan untuk membela dirinya sendiri atau diri orang lain, membela perikesopanan sendiri atau kesopanan orang lain atau membela harta benda kepunyaannya sendiri atau kepunyaan orang lain, daripada serangan yang lawan hukum dan yang berlaku sekejap itu atau yang mengancam dengan seketika

(2) Tiada boleh dihukum barang siapa melampaui batas pembelaan yang perlu jika perbuatan itu dilakukannya karena sangat panas hatinya, disebabkan oleh serangan itu.

Pendapat Hoge raad 4 mei 1936

Tanpa adanya serangan yang langsung dan melawan hukum, maka adalah tidak mungkin adanya pembelaan terpaksa

HR 8 Pebruari 1932

Adanya ketakutan bahwa dirinya akan diserang oleh seseorang yang telah mengambil sikap yang mengancam, tidak membenarkan untuk sendiri melakukan penyerangan

HR 25 juni 1934

Alasan bahawa pihak lawan telah memulai membuat dengan membuat onar, bukan merupakan alasan adanya daya paksa

HR 8 Januari 1917

Suatu penghinaan bukan merupakan penyerangan terhadap badan, kehormatan atau barang;

HR 27 Mei 1935

Apabila dengan jelas ternyata bahwa terdakwa tidak akan berbuat lain dari pada yang dilakukannya maka ia tidak berbuat karena pembelaan terpaksa

HR 29 Desember 1913

Membalas suatu serangan dengan suatu serangan balasan bukan merupakan tindakan membela diri

Dalam sebuah proses hukum perlu mengandung aspek moral. Proses hukum disini maksudnya adalah sebuah sistim dalam hal mana hukum positif ditentukan, diterapkan dan ditegakkan. Randy e Barnet dalam tulisannya menyatakan bahwa legal prosess is a dynamic rather than a static system;………….. The legal process has one other characteristic. It has a purpose or function, It is this aspect of law which may serve as the link between substance and process (Toward a Theory of Legal Naturalism, Randy E. Barnett, 1978 Pergamon Press Ltd.Journal of Legal Studies, v. 2 no.2, pp. 97-107). Meskipun di kalangan ahli hukum belum ada kesepahaman tentang hubungan hukum dan moral, apalagi antara hukum alam dengan legal positivism.. Namun pada kasus Nila kita perlu mencari hubungan antara hukum dengan moral. Moral dimaksud disini adalah hukum acara mengandung value untuk membedakan dari evil sisi hukum acara yang mengandung sebuah value, sebagaimana Joseph Raz juga akui bahwa ……….the difficulty we have in understanding the relations between law and morality; The law can be valuable, but it can also be the source1 of much evil (About Morality and nature of law, joseph raz ).

Tujuan dari hukum pada dasarnya adalah ketajaman dan penegakan kewajiban hukum. Pada saat, Nila diproses pada dasarnya kepolisian bertujuan untuk menajamkan tindak pidana dan penegakan dari kewajiban hukum nila yang ada di hukum pidana. Dalam penegakan hukum pidana, tidak cukup untuk melihat bahwa hukum isinya adalah perintah. Konsep ini terlalu kaku. Law is no mere one-way street……………………….. They are and must be consistent with the goal of law: the determination of general rules of behavior to allow rational (or irrational for that matter) men to plan and act (About Morality and nature of law, joseph raz P. 2 ). Hal ini kayaknya diabaikan oleh sebagian orang dalam kasus Nila. Banyak orang berpandangan bahwa hukum pidana berjalan secara statis, kaku. Kasus Nila hanya dipandang sebagai tindakan yang menghilangkan nyawa Agus. Pandangan orang banyak ditujukan pada akibat yang terlah terjadi pada diri Agus ( menghilangkan nyawa) tanpa melihat secara dinamik tentang kausalitas dan rationalitas yang terjadi pada kasus Nila secara keseluruhan.

Memang banyak kalangan hukum pidana memisahkan antara hukum pidana dengan kesalahan atau pertanggungjawaban. Namun, teori tersebut tidak berdiri tunggal. Ada teoritisi hukum pidana yang melihat bahwa perbuatan pidana dipandang sebagai satu kesatuan. Simon berpendapat bahwa Een strafbare feit is een strafbaar gestelde onreghmatige met schuld in verband staande handeling van het toerekeningsvatbaar persoon (orang yang mampu bertanggungjawab); Van hamel juga berpendapat “ straafbare feit is een wettelijk omschreven menschelijke gedraging, welke onrechtmatig strafwaardig en aan schuld te wijten is –suatu kelakuan yang melawan hukum yang patut dipidana dan dapat dipersalahkan (Moeljatno, Azas hukum pidana, kumpulan kuliah dari prof Mr moeljatno pada Fac HESP Universitas gadjah mada cabang Surabaya 1952/1953).

Simon dan van hamel adalah ahli hukum pidana yang memasukkan kesalahan dan pertanggungjawaban dalam suatu perbuatan pidana.

Mencoba menghubungkan antara moral dan hukum, dalam artian hukum yang mengandung sebuah nilai (pinjam istilah Joseph Raz). Ada dua sorotan yang perlu diperhatikan dalam proses hukum yang dijalani oleh nila yaitu morality of aspiration and morality of duty. The morality of aspiration "is the morality of the Good Life, of excellence, of the fullest realization of human powers . . . [A] man might fail to realize his fullest capabil­ities. . . . But in such a case he was condemned for failure, not for being recreant to duty; for shortcoming, not for wrongdoing."[i][13] The morality of duty, on the other hand, lays down the basic rules without which an ordered society directed toward certain specific goals must fall short of its mark. ... It does not condemn men for failing to embrace opportunities for the fullest realiza­tion of their powers. Instead, it condemns them for fail­ing to respect the basic requirements of social living (Fuller, morality of law p. 5-6 ).

Berbicara proses hukum pidana tidak hanya terjadi di pengadilan semata. Proses hukum pidana mengenal integralistic justice system. Proses hukum pidana dimulai sejak kepolisian , kejaksaan dan pengadilan. Dalam sebuah proses hukum kita harus melihat KUHP atau hukum pidana materiil di luar KUH pidana dan Hukum Acara Pidana. Perangkat KUH Pidana atau Hukum pidana di luar KUHP menyororoti aspek Substance, sedangkan Hukum acara pidana menyoroti aspek proses penegakannya. Baik pada hukum pidana materiil ataupun hukum pidana formil harus dilandasi oleh 2 nilai moral sebagaimana dikemukakan oleh Fuller di atas. Pada buku I, pasal 1 diatur tentang Azas nullum delictum noella poena sine praevia lege poenali. Dari sejarahnya, asas ini merupakan manifestasi dari hukum kodrat. Dalam hal mana tiada suatu perbuatan boleh dihukum melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu daripada perbuatan itu. Negara dilarang untuk menghukum seseorang tanpa didahului dengan Undang-undang yang melarang adanya perbuatan tersebut.

Kepolisian memang telah meninjau nilai moralitas yang terkandung dalam pasal 338 KUHP, pasal 49 KUHP, pasal 7 KUHAP dan pasal 18 UU kepolisian. Kepolisian membuka kesempatan pada dinamika causalitas yang melingkupi pembunuhan agus oleh NILA. Pasal 338 KUH Pidana adalah norma larangan menghilangkan nyawa orang lain. Norma ini diadakan karena kepentingan publik (yang diwakili oleh negara) membenci perbuatan menghilangkan nyawa orang lain tersebut. Saat terjadi tindak pidana pasal 338 KUH pidana, polisi terlihat menghindari penafsiran kaku dari aturan hukum pasal 338 KUHP. Namun, penyidik berusaha memahami hakekat dari perbuatan tersebut dalam pandangan system hukum pidana Indonesia. System hukum pidana tersebut dihubungkan dengan internal morality yang terkandung pada system hukum pidana tersebut. Menurut Fuller internal morality akan mampu mengontrol kebencian buta penggunaan aturan hukum, …..an accptance of this (internal) morality is a necessary, though not a sufficient condition for the realization of justice,……this morality is itself violated when an attempt is made to express blind hatreds through legal rules, and…… the specific morality of law articulates……a view of man’s nature that is indispensable to law and morality alike (Textbook of jurisprudence, professor hailaire Mc courbey, hal. 93, diambil dari the morality of law. P168).

Hak Hidup Nila Dan Kepastian Hukum Yang Adil Dijamin Oleh Konstitusi

Moralitas Hukum bukan sebuah hal semata abstrak tetapi juga bersambung dengan hak hukum. Melalui konstitusi ini dapat dilihat bahwa hak hukum dan moral dapat bertemu dalam titik hubung. Pada kasus Nila di atas maka aspek moral harus selalu mewarnai proses hukum. Aspek moral yang paling tertinggi dan juga menjadi hak hukum terkandung dalam sebuah konstitusi . For dworkin background moral rights are derived from that abstract moral frame work whisch is institutionalized in the community’s political structures, particularly its constitutional base (Textbook of jurisprudence, professor hailaire Mc courbey, P. 146 ). Pada kasus nila ada beberapa pasal dalam konstitusi yang relevan. Pasal 28A UUD 1945 mengatur bahwa Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Pasal 28B ayat 1 Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Pasal 28G, Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

Penegakan hukum pidana pada kasus NILA tolok ukur utama adalah Hukum Pidana materiil dan Hukum pidana formil. Namun, Penilaian dari sudut pandang hukum pidana ini harus juga meninjau hak-hak kodrat yang telah diatur dalam konstitusi. Sebagaimana hal itu dipahami oleh Dworkin dalam menanamkan nilai oral dalam system hukum… After his early critical papers on Hart’s positivism, Dworkin turns to the elaboration of his own theory of adjudication and law, according to which the right answer to a legal question is the one that coheres with the “best” theory of the institutional history of the legal system (i.e., its statutes, precedents, constitution, etc.). The “best” theory, in turn, is one that both explains or fits some significant portion of that institutional history and provides the best moral justification of it (Beyond hart/dworkin debate, Charles I. Francis, March 4-5mei, 2002) .

Pandangan terhadap perbuatan harus juga dipandang dalam perspektif pandangan konstitusi. Nila mempunyai hak untuk mendapatkan hidup yang baik. Hidup baik ini adalah tanpa diganggu oleh orang lain. Selain itu, Nila berhak untuk membentuk keluarga yang baik. Pada saat ada kehadiran Agus yang mengganggu rumah tangga Nila sehingga mengakibatkan Nila harus terpisah dari suami dan anak maka pada konteks ini Nila telah kehilangan haknya untuk membentuk keluarga baik dan mendapatkan keturunan. Apalagi Nila telah melakukan perkawinan yang sah dengan suaminya dan juga telah mempuyai anak. Memang pada tataran fakta Nila telah mengakibatkan kematian dari Agus. Tetapi kematian yang menimpa agus merupakan akibat dari perbuatan Agus sendiri yang telah melanggar hak hidup dan hak membentuk keluarga yang dipunyai Nila. Apalagi sejak awal tiada maksud dari Nila untuk menghilangkan nyawa Agus namun itu merupakan langkah terpaksa di saat agus melakukan penyerangan secara nyata dalam hal mana bententangan dengan hak-hak nila yang dijamin konstitusi.

Pada konteks ini mungkin masyarakat bertanya. Sungguh tidak adil apabila kasus Nila ini dihentikan. Korban telah mati sehingga tidak dapat melakukan pembelaan apa-apa. Ini berbeda dengan Nila yang dalam “mengarang” cerita dalam rangka pertahanan diri (alibi). Pendapat ini secara hukum dapat diterima tapi argumentasi hukumnya kurang kuat. Persoalan pada kasus Nila tidak terletak pada kebutuhan pengakuan Agus atas kejadian yang menimpa dirinya. Sebab, cross examination keterangan korban terhadap pelaku bukan hal utama dalam konteks pembuktian. Pembuktian dapat menggunakan alat-alat bukti lain. Adil adalah nilai yang sulit untuk dicari dan kita lebih mudah untuk menemukan ketidakadilan daripada keadilan itu sendiri.

Kewenangan Kepolisian Untuk Menghentikan Penyidikan

Penerbitan SK penghentian penyidikan bukan dimaksudkan untuk mencampuri kerja-kerja judikatif dalam menemukan namun harus dipandang sebatas kewenangan yang melekat pada polisi selaku penyidik untuk menghentikan penyidikan. Satu hal yang harus dipahami adalah kepolisan memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan yang itu tidak dimiliki oleh institusi lain. Kewenangan lebih ini dimiliki oleh institusi karena Undang-undang. Pada hakekatnya merujuk pada legitimacy of authority, authority is a right to rule (The problem of authority : revisiting the service conception, Joseph raz 2006 ). Kewenangan ini bisa saja tidak dimiliki oleh orang lain. Polisi sebagaii penyidik memiliki beberapa kewenangan yaitu :

  1. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana.
  2. Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian
  3. Menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka
  4. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan
  5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat
  6. Mengambil sidik jari dan memeriksa seseorang
  7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi
  8. Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara
  9. Mengadakan penghentian penyidikan
  10. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab

Berdasarkan UU kepolisian, yaitu UU no 2 tahun 2002, juga memiliki kewenangan sebagai berikut :

Pasal 16

(1) Dalam rangka menyelenggarakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 dan 14 di bidang proses pidana, Kepolisian Negara Republik Indonesia berwenang untuk :

a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;

b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan penyidikan;

c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;

d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal diri;

e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;

f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;

h. mengadakan penghentian penyidikan;

i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;

j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;

k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk diserahkan kepada penuntut umum; dan

l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

(2) Tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi syarat sebagai berikut :

a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;

b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut dilakukan;

c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;

d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan

e. menghormati hak asasi manusia.

Pasal 18

(1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Legitimasi yang dimiliki oleh kepolisian untuk menghentikan penyidikan tersebut adalah didasari oleh Undang-Undang. Kewenangan itu mengikat pihak lain untuk mematuhi kewenangan yang dimiliki oleh pihak lain tersebut. Apabila ada beberapa pihak yang keberatan dengan alasan yang digunakan oleh polisi dalam menghentikan kasus Nila tersebut maka sesungguhnya itu hal yang berbeda. Alasan yang digunakan oleh polisi untuk menegakkan kewenangannya pada hakekatnya bukan merupakan bagian dari kewenangan namun hanya sebatas alasan untuk menegakkan kewenangan. Kewenangan yang ada pada kepolisian tidak menjadi gugur (hilang) karena alasan yang tidak layak pada saat menghentikan penyidikan tersebut. Sebab alasan-alasan tersbut bukan kewenagangan itu sendiri. Mengikatnya sebuah kewenagan kewenangan kepolisian bagi masyarakat tidak terletak pada alasan dari penggunaan kewenangan namun pada legitimasi apa yang diperoleh oleh kepolisian sehingga memiliki kewenagan tersebut. Legitimasi itu diberikan oleh undang-undang.

Legitimasi yang dimiliki oleh kepolisian untuk menghentikan penyidikan pada kasus nila didasarkan pada sebuah Undang-undang. Undang_undang memberikan kewenangan bagi kepolisian untuk menghentikan penyidikan. Selanjutnya Undang-undang tidak pernah mengatur syarat-syarat limitative yang harus digunakan sebagai alasan penyidik untuk menghentikan penyidikan. Tidak ada aturan dalam KUHAP, KUHP dan UU kepolisian yang mengatur Kriteria apa untuk menghentikan penyidikan. Pada tahap ini bila merujuk pada Teori legitimasi authority maka polisi telah meiliki kewenangan untuk menghentikan penyidikan dan itu mengikat masyarakat untuk mematuhi itu. Selanjutnya terkait dengan kriteria atau alasan untuk menghentikan, maka itu sesuatu yang terpisah dari kewenangan. Oleh karena Undang-undang tidak mengatur kriteria yang dipakai maka tentu saja polisi bersumber dari kewenangan menghentikan penyidikan, polisi berhak untuk menetapkan alasan sendiri.

Kewenangan polisi untuk menetapkan alasan sendiri tidak dimaskudkan bahwa polisi dapat sewenang-wenang. Polisi dalam mencari alasan harus tetap menggunakan morality aspiration dan duty morality sebagai,mana fuller kemukakan di atas. Pandangan moral ini tentu saja tidak dilakukan dengan posisi diluar dari sistim hukum, tetapi pandangan moral ini harus dilihat dalam kacamata system hukum pidana yang sekarang ini berlaku. Hal ini untuk membuktikan bahwa hukum pidana itu tidak statis tetapi dinamis, hukum itu bekerjanya tidak hanya meliputi keadilan prosedural tetapi juga meliputi keadilan substansi.

Penyidik membangun alasan untuk menghentikan penyidikan pada kasus nila dengan mendasarkan pada dinamika hukum pidana mateiil dan hukum pidana formil dan UU kepolisian. Selain itu, kepolisian tidak hanya berhenti pada hilangnya nyawa Agus, tetapi mencoba membangun rasionalisasi dari peristiwa pidana itu untuk mendapatkan internal morality yang ada pada system hukum pidana. Penyidik juga mengikatkan diri pada prinsip utama dalam proses hukum yaitu prinsip Equal protection dan Prinsip fairness. Equal protection and fairness are the best moral conception of due process (authority and reason, jules coleman, the autonomy of law, p.306 ). Dua prinsip ini mengikat kepolisan dan dalam setiap proses hukum polisi terikat untuk mematuhi ini. No norm can count as a part of the community’s law if it violate due process or equal protection…..the demand fairness (authority and reason, jules coleman, the autonomy of law, p.306 ). Meskipun Nila seorang wanita, Nila mendapatkan perlindungan hak sebagaimana itu terjadi pada laki-laki. Penyidik juga secara jujur berani mengakui tidak adanya alasan untuk memproses Nila meskipun korbannya adalah angatan laut. dan Langkah sistematisasi dengan menghubungkan pasal 338 dengan psal 49 dengan pasal 7 KUHAP dan pasal 18 UU kepolisian merupakan langkah tepat untuk mendukung hak hukum Nila yang diatur dalam pasal 28 A, pasal 28 B dan pasal 28 G dari UUD 1945. Apabila ada orang yang berpendapat lain dan tidak sependapat dengan lasan yang digunakan oleh kepolisian maka hal itu bukan hal penting. Sebab Alasan berbeda dari pihak yang menentang penghentian penyidikan ini tidak bersumber dari kewenangan. Mereka tidak memiliki kewenangan untuk menghentikan penyidikan sebagaimana hal itu dimiliki oleh pihak kepolisian sebagai penyidik.

Meskipun alasan moral memiliki unsur subyektif, pada kasus Nila , polisi telah melakukan penanaman moral dalam penginterpretasian hukum. Penyidik tidak hanya sebatas melihat adanya penghilangan nyawa seseoang namun juga melihat sisi pembelaan diri yang dilakukan oleh Nila untuk mempertahankan kehormatan, martabat dan hidupnya. Meskipun kebanyakan teori hukum pidana di indoensia melakukan pemisahan antara perbuatan pidana dengan pertangungjawaban, kesalahan. Namun penyidik memakai teori hukum pidana yang tidak memisahkan antara perbuatan dan pertanggungjawaban. Polisi berusaha untuk memaksimalkan kewenangan menghentikan penyidikan untuk tidak melanjutkan kasus ini ke pengadilan. Meskipun sebagian besar teoritikus pidana mengajarkan bahwa pembuktian kesalahan dan pertanggungjawaban hanya dilkukan di pengadilan.

Tindakan polisi menghentikan penyidikan tentu saja tidak dapat disebut tindakan penyalahgunaan kewenangan. Karena polisi dalam hal ini hanya sebatas menjalankan kewenangan untuk menghentikan. Selain itu KUHAP memang tidak pernah mengatur kriteria penghentian. Apabila polisi menafsirkan sendiri maka itu dalam konteks melakukan pemahaman hukum dengan bersandar pada moral aspiration dan moral duty. Disamping itu, pendapat Ahli yang melakukan pemisahan antara perbuatan dengan kesalahan dan pertanggungjawaban juga tidak berdasar pada kewajiban hukum dalam system hukum pidana. Pendapat ini juga hanya bersifat interpretating saja. Dalam hal mana langkah interpretation ini tanpa dilekati dengan kewenangan selaku penyidik. Sebab van hamel dan simons berbeda pendapat perihal pemisahan ini. Apabila dihubungkan dengan teori dworkin, kepolisian telah melakukan embedded in Criminal positive laws. Penyidik juga menggunakan moral duty dan moral aspiration sebagaimana dikemukakan oleh fuller dalam penegakan hukum pidana materiil.

Apabila ada pihak lain yang keberatan terhadap langkah hukum yang ditempuh oleh kapolwiltabes Surabaya tersebut maka KUHAP telah memberikan jalur melalui upaya pra peradilan. Hal ini diatur dalam pasal 77 KUHAP

Pasal 77 KUHAP

Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang :

  1. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau pengehentian penuntutan
  2. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat pebyidikan atau penuntutatan.

Apabila pada akhirnya gugatan pra peradilan diajukan oleh Komando Armada Timur (Koarmatim) TNI AL di Pengadilan Negeri Surabaya maka hal itu harus dipahami sebagai upaya yang diberikan kepada korban atau pihak yang berkepentingan untuk menempuh upaya hukum atas penghentian yang dilakukan oleh pihak polwiltabes. Dan, sudah seharusnya pihak yang berkepentingan melakukan upaya hukum tersebut. Apabila kenyataannya, pengadilan negeri Surabaya mengabulkan gugatan pra peradilan berdasarkan keterangan saksi ahli yang dihadirkan dalam persidangan sebelumnya. Prof Dr Didik Hendro Poerwoleksono SH MH yang berpendapat keputusan bersalah atau tidaknya serta bebas tidaknya terdakwa dalam perkara pidana harus dibuktikan di pengadilan. Meskipun polisi punya wewenang menghentikan perkara berdasarkan UU No 2 /2002 tentang kepolisian, kewenangan tersebut bukan termasuk pada materi perkaranya Maka realitas tersebut harus diterima oleh para pihak sebagai hukum yang telah ditetapkan oleh pengadilan. Apa yang diputus oleh hakim itulah hukum. Termasuk putusan pengadilan tinggi Jawa Timur yang menguatkan putusan dari pengadilan negeri terebut.

Secara umum,fungsi hukum acara pidana adalah untuk membatasi kekuasaan negara dalam bertindak serta melaksanakan hukum pidana materiil. Ketentuan-ketentuan dalam Hukum Acara Pidana dimaksudkan untuk melindungi para tersangka dan terdakwa dari tindakan yang sewenang-wenang aparat penegak hukum dan pengadilan.1 Pada sisi lain, hukum juga memberikan kewenangan tertentu kepada negara melalui aparat penegak hukumnya untuk melakukan tindakan yang dapat mengurangi hak asasi warganya. Hukum acara pidana juga merupakan sumber kewenangan bagi aparat penegak hukum dan hakim serta pihak lain yang terlibat (penasehat hukum). Permasalah yang muncul adalah “penggunaan kewenangan yang tidak benar atau terlalu jauh oleh aparat penegak hukum Penyalahgunaan kewenangan dalam sistem peradilan pidana yang berdampak pada terampasnya hak-hak asasi warga negara merupakan bentuk kegagalan negara dalam mewujudkan negara hukum.

.


IV. KESIMPULAN

SK penghentian penyidikan yang ditandatangi oleh kapolwiltabes Surabaya merupakan realitas yang harus dipahami dengan wajar. Polisi mencoba melakukan penanaman moral dalam penginterpretasian hukum. Penyidik tidak hanya sebatas melihat adanya penghilangan nyawa seseoang namun juga melihat sisi pembelaan diri yang dilakukan oleh Nila untuk mempertahankan kehormatan, martabat dan hidupnya. Legitimasi yang dimiliki oleh kepolisian untuk menghentikan penyidikan tersebut adalah didasari dari Undang-undang. Kewenangan itu mengikat pihak lain untuk mematuhi kewenangan yang dimiliki oleh pihak lain tersebut. Kewenangan yang ada kepolisian tidak menjadi gugur (hilang) karena alasan yang tidak layak pada saat menghentikan pemyidikan tersebut.

Untuk menggugurkan keputusan penyidik yang menghentikan penyidikan tersebut perlu upaya hukum pra peradilan. Putusan pengadilan negeri yang mengabulkan gugatan pra peradilan atas pengehentian penyidikan yang dilakukan oleh polisi adalah hal yang harus ditaati. Sebab mekanisme pra peradilan memang disediakn untuk menguji apabila ada penghentian penyidikan sebagaimana hal ini terjadi pada kasus Nila. Putusan Hakim di sidang pra peradilan ini juga hukum sehingga tidak ada alsan bagi kepolisian untuk tidak patuh. Apalgi banding yang dilakukan oleh polwiltabes di pengadilan tinggi jawa Timur juga telah ditolak.

DAFTAR PUSTAKA

Charles I., Beyond hart/dworkin debate, Francis Professor in Law, Professor of Philosophy, and Director of the Law &Philosophy Program, The University of Texas at Austin

Joseph raz About Morality and nature of law, the authonomy of law, essay on legal positivism, edited by Robert P. george

Joseph raz , The problem of authority : revisiting the service conception, , professor of the philosophy of law, oxford university and professor Columbia law school

Jules coleman authority and reason, the authonomy of law, essay on legal positivism, edited by Robert P. george

Moeljatno, Azas hukum pidana, kumpulan kuliah dari prof Mr moeljatno pada Fac HESP Universitas gadjah mada cabang Surabaya 1952/1953

Neil maccormick , The Concept Of Law and The Concept Of Law, , the authonomy of law, essay on legal posivism, edited by Robert P. george. P. 164

Professor hailaire Mc courbey, Textbook of jurisprudence,

Randy E. Barnett, Toward a Theory of Legal Naturalism, 1978 Pergamon Press Ltd.Journal of Legal Studies, v. 2 no.2, pp.

Thom brooks, B.A, Between natural law and legal positivism ; dworkin and hegel on legal theory,. Lecturer in Political Thought, Department of Politics, University of Newcastle, Newcastle upon Tyne, NE1 7RU

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA

UNDANG-UNDANG KEPOLISIAN

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA



Tidak ada komentar:

Posting Komentar