LATAR BELAKANG
Pengadilan Kembali Menangkan Gugatan Konsumen Parkir. Ketidaktelitian dan ketidakhati- hatian Secure Parking yang mengakibatkan hilangnya kendaraan seorang konsumen dinilai sebagai perbuatan melawan hukum. Hakim menghukum Tergugat (Secure Parking, red) untuk membayar kerugian materil kepada penggugat (Sumito,) sebesar Rp30.950.000. Pada bagian lain amar putusan, majelis hakim juga melarang Secure Parking untuk tidak lagi mencantumkan klausula baku yang mengalihkan tanggung jawab dari pengelola parkir kepada pemilik kendaraan atau konsumen parkir. Contoh klausula baku yang terdapat di tiket parkir Secure Parking adalah
“ Asuransi kendaraan dan barang-barang di dalamnya serta semua resiko atas segala kerusakan dan kehilangan atas kendaraan yang diparkirkan dan barang-barang di dalamnya merupakan kewajiban pemilik kendaraan itu sendiri (tidak ada penggantian berupa apapun dari penyedia parkir.”
Putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat bisa jadi kabar gembira bagi konsumen parkir. Putusan pengadilan negeri Jakarta pusat ini berawal dari gugatan yang diajukan oleh Sumito Y Viansyah terhadap PT Securindo Packatama. Sebab, Sumito kehilangan sepeda motor Honda Tiger yang ia parkir di bilangan Fatmawati, Jakarta Selatan. Sumito protes ke petugas Secure Parking. Sumito sudah membawa perkaranya ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK), namun tidak puas dan selanjutnya engajukan gugatan ke pengadilan.
Kasus Sumito Y Viansyah Vs PT Securindo Packatama tersebut memberi gambaan kepada kita bahwa masih banyak klausula baku yang dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk lepas dari tanggung jawab. Selain itu, kasus diatas juga memberikan pelajaran kepada konsumen, bahwa konsumen masih dapat menuntut hak-hak konsumen yang dirugikan meskipun pelaku usaha telah menetapkan klausula baku. Tidak disangkal, pada beberapa kasus, klausula baku telah dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk lepas dari tanggung jawab. Dengan alasan telah disepakati oleh konsumen dan diketahui, pelaku usaha tidak bersedia untuk memberikan kompensasi kerugian manakala terjadi kerugian pada pihak konsumen.
Dalam upaya melindungi hak-hak konsumen, pemerintah telah menetapkan UU no 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Salah satu maksud diterbitkannya undang-undang ini adalah untuk menghindari konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, cara penjualan, serta penerapan perjanjian standar yang merugikan konsumen. Hal ini dapat dismak dalam bagian penjelasan umum. Pada bagian penjelasan umum tersebut, ternyata pembuat undang-undang telah mengidentifikasi perjanjian standard sebagai bagian dari persoalan konsumen yang dapat melemahkan posisi konsumen. Oleh karena itu sudah seyogyanya UU perlindungan konsumen mengatur mengenai penggunaan perjajian standard berserta klausula bakunya.
Di Masyarakat eropa, keberadaan klausula baku juga telah menimbulkan persoalan pada hubungan pelaku usaha dengan konsumen. Istilah yang digunakan untuk mewakili klausula baku ini adalah unfair terms. Pada tahun 1999 masyarakat uni eropa, mengeluarkan peraturan no 2083 tahun 1999 tentang consumer protection. Negara-negara lain yang lebih maju juga telah mengantispasi dampak dari penggunaan klausula baku yang dapat merugikan konsumen.
PERMASALAHAN
Oleh karena itu, Berkaitan dengan hal tersebut diatas maka permasalahan yang diangkat pada makalah ini adalah :
Perbandingan hukum konsumen Indonesia dengan negara lain pada kasus penggunaan klausula baku dalam kontrak konsumen
PEMBAHASAN
Perkembangan Penggunaan standard kontrak telah menjadi fokus/perhatian dari berkembangnya praktik ketiddakjujuran. Penggunaan kontrak standard merupakan akibat dari revolusi industri yang beakibat pada pertumbuhan perdagangan barang dan jasa. Bisnis dengan konsumen berjumlah besar akan sangat efektif bila menggunakan standard contract daripada negotiable contract. Di eropa, pada tahun 1993, keprihatinan perihal standard contract juga muncul dari komisi eropa yang perihatin terhadap praktek standards terms contract di negara-negara anggotanya... the studies…not only demonstrated the ubiquity of unfairterms in standard form contracts but also the enormous difficulty of getting hold ofthe contractual terms before concluding a contract ( Position paper commission of european consumer).
Banyaknya keberatan terhadap klausula baku tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi di Negara-negara yang telah maju juga demikian. Menurut komisi eropa, mengidentifikasi data base kasus hukum yang berhubungan dengan standard terms contract, pada tahun 2000, ada 7649 kasus (final Report from theCommission on the Implementation of Council Directive 93/13/EEC of April 1993 on Unfair Terms in Consumer Contracts ). Data yang dikeluarkan oleh united kingdom Office of Fair Trading (UK OFT) mengindikasikan bahwa ada 27,000 complaints terkait klausula baku (Unfair Terms in Contracts : 2002, The Law Commission of England and Wales (Consultation Paper 166); The Scottish Law Commission).Standard contract juga dapat mengakibatkan kompetisi menjadi tidak sehat hal ini juga terjadi di Australia.
Penggunaan standard kontrak telah mengarahkan negara-negara di luar untuk membuat pengaturan tentang standard kontrak. Israel enacted the Standard Contracts Law in 1964; Sweden, an Act Prohibiting Improper Contract Terms in 1971; Germany, the Law on Standard Contract Terms which came into effect in 1977; UK, the Unfair Contract Terms Act 1977; Ireland, the Sale of Goods and Supply of Services Act 1980; Luxembourg introduced a law identifying 20 types of unfair term in 1983; Portugal developed law on general contract terms in 1985; the European Union, the Unfair Terms inConsumer Contracts Directive in 1993 and Thailand, the Unfair Contract Terms Act in 1997. Indonesia belum ada aturan yang khusus mengatur tentang standard kontrak.
A. KLAUSULA BAKU DALAM HUKUM INDONESIA
Dalam rangka kepentingan bisnis dan efisiensi banyak sekali pelaku bisnis yang membakukan perjanjian yang dibuat. Perjanjian baku dimaksudkan untuk membuat keseragaman ukuran pelaku usaha dalam menjalankan usahanya. Perjanjian baku ini tentu telah dipersiapkan sebelumnya oleh pelaku usaha dan telah ditetapkan secara sepihak isinya. Namun, pelaku usaha tetap meminta persetujuan dari pihak lain yang diajak bertransaksi atas perjanjian baku yang diadakan oleh pelaku usaha tersebut. Memang klausula baku potensial merugikan konsumen karena tak memiliki pilihan selain menerimanya. Namun di sisi lain, harus diakui pula klausula baku sangat membantu kelancaran perdagangan. Sulit membayangkan jika dalam banyak perjanjian atau kontrak sehari-hari kita selalu harus menegosiasikan syarat dan ketentuannya. Dalam pustaka hukum, perjanjian baku juga dikenal dengan sebutan standardized agreement, standard contract atau contract of adhesion.
Beberapa ahli hukum memberikan pendapat yang berbeda perihal perjanjian baku ini. Sluijter mengatakan perjanjian baku bukanlah perjanjian, sebab kedudukan pengusaha itu yang berhadapan dengan konsumen adalah seperti pembentuk undang-undang swasta; sedangkan pitlo berpendapat perjanjian baku merupakan perjanjian paksaan (Sutan rehmi syahdini : 1997). Pada sisi lain, stein berpendapat perjanjian baku dapat diterima sebagai perjanjian berdasarkan fiksi adanya kemauan dan kepercayaan yang membangkitkan kepercayaan bahwa para pihak mengikatkan diri pada perjanjian itu. Sedangkan Asser-Ruten berpendapat bahwa setiap orang yang menandatangai perjanjian bertanggung jawab terhadap isi dan apa yang ditandatanganinya (Sutan rehmi syahdini, 1997).
Dalam sistim hukum Indonesia, ternyata tidak ada pengaturan jelas tentang adanya larangan perjanjian baku ini. Tetapi hukum Indonesia jelas-jelas melarang klausula baku sebagaimana hal itu diatur tegas dalam undang-undang no 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Namun tidak semua kalusula baku dilarang dalam perjanjian, hanya beberapa klasula baku yang memenuhi kualifikasi yang ditetapkan oleh undang-undang no 8 tahun 1999. Pembuat undang-undang ternyata membedakan antara perjanjian baku dengan klausula baku. Undang-Undang tidak memberikan definisi perihal klausula baku. Penjelasan Pasal 18 yang melarang klausula baku juga tidak menjelaskan. Oleh karena itu, pengertian klausula baku dapat menggunakan pengertian sebagaimana berkembang dalam dunia praktek bisnis. Klausula baku adalah setiap syarat dan ketentuan yang telah disiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pengusaha yang dituangkan dalam suatu dokumen atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.
Oleh karena itu setiap klausula baku pasti merupakan bagian dari perjanjian baku. Sebab dalam perjanjian baku ada standard-standard yang telah dibakukan dalam sisi perjanjian baku tersebut. Isi yang telah dibakukan tersebut merupakan kluasula-klausula yang telah dibakukan yang dikenal dengan klausula baku. Perjanjian baku merupakan wadah atau tempat sedangkan klausula baku merupakan bagian yang mengisi wadah atau tempat tersebut. Klausula baku menerangkan tentang prestatie-prestatie yang menjadi hak dan kewajiban para pihak yang menjadi isi perjanjian tersebut. Oleh karena itu, Pembahasan klausula juga tidak dapat dilepaskan dari perjanjian
A.1 Keabsahan perjanjian
Pada negara dengan common law sistim, ada dua aspek dalam kontrak .... every person is free to enter into a contract with any person they choose and to contract on any terms they want. Presumably it could also be said that every person has the freedom to refuse to contract if either the terms or the other party are not suitable (Pentony B, Graw S, Lennard J, Parker D : 1999) . Filosofi ini menyiratkan bahwa para pihak mampu untuk menegosiasikan pada suara yang sama, mempunyai daya tawar yang sama, mampu untuk melihat semua kepentingannya dan memahami akibat-akibat yang dapat muncul dari tindakan para pihak dan memahami akibat yang timbul dari istilah-istilah yang ada di kontrak.
Dalam sistem Hukum Perdata Indonesia, perikatan dapat timbul dari dua hal, yaitu pertama dari perjanjian atau kesepakatan para pihak dan kedua yaitu yang timbulnya karena undang-undang. Perikatan diartikan sebagai perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain ( pemenuhan prestasi) dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu (kontra prestasi).Hukum perjanjian dalam KUH Perdata menganut asas konsensualisme. Konsensualisme berasal dari akar kata konsensus yang berarti sepakat. Kesepakatan dapat berupa suatu perjanjian tertulis, atau lisan atau kebiasaan yang terjadi dalam satu sifat atau lingkup transaksi tertentu.
Pihak yang berhak menuntut prestasi (kreditur) mendapatkan perlindungan hukum untuk meminta pemenuhan, atau pemulihan atau ganti rugi dalam hal pihak yang harus memenuhi prestasi (debitur) dalam keadaan tidak dapat (baik karena tidak mampu atau sebab lainnya) memenuhi prestasi dimaksud. Perjanjian pada umumnya bersifat bilateral dan timbal balik, artinya suatu pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu, juga menerima kewajiban-kewajiban yang merupakan kebalikan dari hak hak yang diperolehnya. Sebaliknya suatu pihak yang memikul kewajiban kewajiban juga memperoleh hak-hak yang dianggap merupakan kebalikan dari kewajiban yang dibebankan padanya.
A.2 Akibat hukum klausula baku
Sebagaimana telah dijelaskan di awal bahwa tidak ada pengaturan jelas perihal larangan perjanjian baku . Namun, ada pengaturan tegas adanya larangan klausula baku tetapi tidak semua perjanjian baku dilarang. Undang-Undang no 8 tahun 1999 hanya melarang klausula baku dengan kualifikasi sebagai berikut
1. Pengalihan tanggungjawab dari pelaku usaha (atau pengusaha) kepada konsumen
2. Hak pengusaha untuk menolak mengembalikan barang yang dibeli konsumen
3. Hak pengusaha untuk menyerahkan uang yang dibayarkan atas barang atau jasa yang dibeli oleh konsumen
4. Pemberian kuasa dari konsumen kepada pengusaha untuk melakukan segala tindakan sepihak berkaitan dengan barang yang dibeli secara angsuran
5. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli konsumen
6. Hak pengusaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa
7. Tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan atau lanjutan yang dibuat sepihak oleh pengusaha semasa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya
8. Pemberian kuasa kepada pengusaha untuk pembebanan hak tanggungan, gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran
Selanjutnya bunyi pasal 18 UU no 8 tahun 1999 selengkapnya sebagai berikut :
Pasal 18
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha; b. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen; c. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen; d. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran; e. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen; f. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan *9396 konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa; g. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya; h. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.
Apabila disimak pengaturan undang–undang perlindungan konsumen, maka pelanggaran terhadap klausula baku sebaigaimana ditetapkan oleh ayat 1 dan ayat 2 pasal 18 UUPK maka mengakibatkan perjanjian tersebut batal demi hukum.
Pada kasus Sumito Y Viansyah Vs PT Securindo Packatama, hakim berpendapat bahwa Keberadaan klausula baku, malah tidak mencerminkan keseimbangan perlindungan hukum bagi konsumen. "Konsumen selalu dalam kondisi dilemahkan dan hanya bisa menerima keadaan yang dipaksakan pelaku usaha," tegas hakim Reno; Kondisi ini bertentangan dengan asas kesepakatan sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian seperti diatur pada Pasal 1320 KUH Perdata; Tidak hanya bertentangan dengan KUH Perdata, hakim juga menunjuk klausula baku sangat jelas dilarang dalam Pasal 18 Ayat (1) huruf a UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pendapat hakim yang memeriksa kasus Sumito Y Viansyah Vs PT Securindo Packatama sejalan dengan pendapat yang diajukan sluijter dan pitlo. Hakim menilai pada perjanjian secure parking, ada paksaan yang dilakukan oleh pelaku usaha kepada konsumen melaluiinstrumen klausula bakunya yang telah ditetapkan oleh PT Securindo Packatama dalam karcis parkir. Meskipun perikatan ini secara materiil telah ada namun penundukan yang dillakukan pada kasus secure parking bukan ketertundukan penyepakatan secara ikhlas atas kehendak sebenarnya oleh konsumen. Pembentukan sepakat secara materiil tersebut karena konsumen tidak ada pilihan lain dan tidak berdaya menghadapi situasi dan kondisi pada waktu menerima kesepakatan pada awalnya. Dan hal itu akhirnya disamakan statusnya menjadi tidak terjadinya kesepakatan.
Penyangkalan terhadap klausula baku tidak hanya terjadi pada kasus secure parking, Sumito Y Viansyah Vs PT Securindo Packatama. Seorang advokat, M. sholeh beberapa waktu lalu menggugat maskapai penerbangan Lion air karena keterlambatan penerbangan selama 3,5 jam dengan ganti rugi sebesar 1,035 miliar. Meskipun dalam tiket pesawat juga telah dicantumkan pengaturan perihal keterlambatan terebut. Keberadaan klausula baku juga tidak dapat dilegalkan dalam bentuk aturan dibawah undang-undang. Peraturan di bawah undang-undang juga tidak dapat membolehkan perbuatan-perbuatan yang dalam hal mana telah dilarang oleh pasal 18. Sebagaimana hal ini pernah dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta, pasal 36 ayat (2) Perda DKI Jakarta No. 5 Tahun 1999 menyatakan: “Atas hilangnya kendaraan dan atau barang-barang yang berada di dalam kendaraan atau rusaknya kendaraan selama berada di dalam petak parkir merupakan tanggung jawab pemakai tempat parkir“. Pengaturan pasal ini jelas bertentangan dengan pasal 18 ayat 1 UUPK. Selanjutnya, perda ini oleh mahkamah agung telah dinyatakan batal demi hukum. Dalam putusan No. 1264/K/Pdt/2005 tersebut, MA menyatakan bahwa ketentuan pasal 36 ayat (2) Perda DKI Jakarta No. 5 Tahun 1999 batal demi hukum. Pasal tersebut menyatakan: “Atas hilangnya kendaraan dan atau barang-barang yang berada di dalam kendaraan atau rusaknya kendaraan selama berada di dalam petak parkir merupakan tanggung jawab pemakai tempat parkir“.
Kasus lain yang telah mencapai tahap eksekusi adalah Anny R. Gultom dan Hontas Tambunan Vs PT Secure Packatama (www. Hukum online.com, 9 Juni 2008) Indonesia di pengadilan negeri Jakarta pusat. Pada tingkat pertama, banding sampai dengan kasasi Anny R. Gultom dan Hontas Tambunan dimenangkan. Mereka berpijak pada ketentuan pasal 1366 jo 1367 KUH Perdata dan pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan menolak klausula baku sebagaimana ditetapkan oleh PT secure pactama. Kasus ini bermula ketika Anny dan Hontas kehilangan mobil kijang Toyota Super B 255 SD di tempat parkir yang dikelola PT Secure Packatama padahal karcis tanda masuk, kunci mobil dan STNK ada di tangan Hontas. Pada saat Anny dan Hontas mencoba mengajukan komplain atas kehilangan kendaraan itu, pengelola parkir mengajukan klalusul baku: kami tidak bertanggung jawab atas hilangnya kendaraan.
Pada penggunaan klausula baku, ternyata ada segi persamaan pandangan yang ditetapkan oleh majelis hakim. Persamaan itu adalah untuk menghubungkan klausula baku dengan perjanjian. Pada kasus Sumito Y Viansyah Vs PT Securindo Packatama penggunaan klausula baku dihubungkan dengan terjadinya kesepakatan. Penggunaan klausula baku dianggap bertentangan dengan unsur kesepakatan yang melandasi syarat sahnya perjanjian. Sebagaimana hal itu diatur dalam pasal 1320 ayat 1 BW. Pandangan hakim ini tentu patut menjadi perhatian. Dalam hokum perdata BW, cacat kehendak terkategori menjadi tiga yaitu paksaan, penipuan dan kesesatan. Ini berbeda dengan NBW belanda yang telah merevisi menjadi empat. Di belanda, NBW telah memasukkan muistbruik van omstandigheden ( penyalahgunaan keadaan) bagian dari cacat kehendak.
Pada kasus penggunaan klausula baku sebenarnya lebih tepat masuk ke kategori penyalahgunaan keadaan. Menuut neuwenhuis ada empat syarat adanya penyalahgunaan keadaan, yaitu (Panggabean henry p ; 2001):
- keadaan-keadaan istimewa (bijzondere omstandigheden0, seperti keadaan daruruat, ketergantungan, ceroboh, jiwa yang kurang waras, dan tidak berpengalaman
- Suatu hal yang nyata (kenbaarheid); disyaratkan bahwa salah satu pihak mengetahui atau semstinya mengetahui bahwa pihak lain karena keadaan istimewa tergerak (hatinya) untuk menutup suatu perjanjian.
- Penyalahgunaan (misbruik); salah satu pihak telah melaksanakan perjanjian itu walaupun dia mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa dia seharusnya tidak melakukan (kasus van elmbt Vs janda feirabend)
- Hubungan causal ( causal verband); adalah penting bahwa tanpa menyalahgunakan keadaan itu maka perjanjian itu tidak akan ditutup
Di indonesia ajaran penyalahgunaan keadaan telah diterima oleh mahkamah agung dalam yurisprudensinya yaitu putusan mahkamah agung RI no 3431 K/Pdt/1985, tanggal 4 Maret 1987. Bagian pertimbangan yang menjadi ukuran bahwa hakim telah menerima konsep penyelahgunaan keadaan adalah sebagai berikut:
- Bahwa jika diperhatikan maka bunga yang ditetapkan sebesar 10 % perbulannya adalah terlampau tinggi dan bahkan bertentangan dengan kepatutan dan keadilan, mengigat tergugat seorang purnawirawan yang tidak berpenghasilan lain
- Bahwa ketentuan dalam penrjanjian untuk menyerahkan buku pembayaran dana pensiun sebagai jaminan juga bertentangan dengan kepatuta dan keadilan
- Bahwa tergugat sebagai peminjam telah membayar bunga sebesar Rp 400.000 dari jumlah pinjman Rp. 540. 000
dan putusan mahkamah agung RI no 1904 K/SIP 1982, tanggal 28 Januari 1984 dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Walaupun perjanjian dalam suatu akta notaris, dimana seorang meberi kuasa kepada orang lain untuk anatra lain menjual rumah sengketa kepada pihak ketiga maupun kepada dirinya sendiri, dianggap sah, namun mengingat riwayat riwayat terjadinya surat kuasa tersebut, yang sebelumnya bermula dari surat pengakuan hutang dengan menjaminkan rumah sengketa yang karena tidak dapat dilunasi pada waktunya dirubah menjadi kuasa menjual rumah terebut, maka perjanjian demikian itu sebenarnya merupakan perjanjian semu untuk menggantikan perjanjian asli yang merupakan hutang pihutang
- Karena denitur terikat pula dengan hutang-hutang lainnya yang sudah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap maka ia dalam posisi lemah dan terdesak sehingga terpaksa menandatangani perjanjian-perjanjian dalam akta notaris yang bersifat memberatkan baginya maka perjanjian berikutnya dapat diklasifikasikan sebagai kehendak satu pihak (eenzijdig contract), yang i.c. adalah tidak adil apabila dilakukan spenuhnya terhadp dirinya.
- Karena debitur telah mengakui mempunyai hutang dan telah menjaminkan rumah miliknya dan memberikan kuasa kepada kreditur untuk memasang hipotik, maka harus dianggap bahwa rumah sengketa telah dijaminkan kepada kreditur untuk melunasi hutangnya, yang untuk adilnya sampai sekarang harus ditambah ganti rugi sebesar 2 % sebulan terhitung sejak tanggal terjadinya hutang tersebut. Untuk adilnya maka rumah sengketa yang sudah diletakkan conservatoir belag dalam perkara lainnya harus dijual lelang untuk pembayaran hutang kepada kreditur-kreditur lainnya.
Bagian-bagian pertimbangan pada putusan mahkamah agung diatas merupakan anasir-anasir perihal diterimanya penyalahgunaan keadaan untuk dibatalkannya perjanjian atau penyalahgunaan keadaan ini dapat digunakan sebagai alasan untuk tidak melaksanakan prestatie yang telah disepakati oleh para pihak dalam suatu perjanjian.
Secara teoritis, unsur pelanggaran hukum penerapan klausula baku tidak harus dihubungkan dengan unsur-unsur syarat sahnya perjanjian. Unsur pelanggaran hukum penggunaan klausula baku dapat berdiri sendiri dalam bentuk perbuatan melanggar hukum. Pasal 18 ayat 1 UU no 8 tahun 1999 jelas telah diatur adanya larangan penggunaan klausula baku dengan kualifikasi tertentu yang telah diatur oleh Undang-Undang.
Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:...................
Apabila didalam praktek bisnis ada pelaku yang menggunakan klausula baku yang masuk kategori terlarang sebagaimana hal itu telah ditetapkan oleh pasal 18 ayat 1 UUPK maka tindakan pelaku bisnis tersebut dapat masuk kategori perbuatan melanggar hukum. Perbuatan melanggar hukum diatur dalam pasal 1365 B.W. Dari pasal 1365 B.w. tersebut, seseorang hanya bertanggung gugat atas kerugian orang jika (Mr JH NEUWENHUIS, pokok-pokok hukum perikatan yang diterjemahkan oleh Djasadin Saragih SH, LLM ) :
- Perbuatan yang menimbulkan kerugian itu bersifat melanggar hukum (perbuatan melanggar hukum)
- Kerugian itu timbul sebagai akibat perbuatan tersebut (hubungan kausal)
- Pelaku tersebut bersalah (kesalahan)
- Norma yang dilanggar mempunyai strekking untuk mengelakkan timbulnya kerugian
Perbuatan melanggar hukum sendiri dapat dilasifikasikan menjadi tiga yaitu, pertama bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku, kedua melanggar hak orang lain, ketiga bertentangan dengan kesusilan dan kecermatan (Mr JH NEUWENHUIS, pokok-pokok hukum perikatan yang diterjemahkan oleh Djasadin Saragih SH, LLM ). Maksud dari kewajiban hukum ini adalah kewajiban kewajiban yang dirumuskan oleh dalam aturan undang-undang (dalam arti materiil yaitu aturan yang mengikat secara umum yang berasal dari kekuasaan yang memiliki wewenang. ; kedalamnya termasuk aturan-aturan yang berasal dari badan-badan publik yang lebih rendah.
Apabila selama ini, hakim masih menggunakan kategori unsur pembentukan kesepakatan dalam menganalisa klausula baku maka hal itu sebenarnya tidak sejalan dengan kosepsi hukum perikatan sebagaimana diatur dalam BW dan UU no 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Pasal 18 ayat 4 UU no 8 tahun 1999 mengatur bahwa dokumen atau perjanjian yang melanggar pengauran klausula baku maka dokumen atau perjanjian tersebut batal demi hukum. Oleh karena akibat hukumnya adalah batal demi hukum maka secara hukum dianggap transaksi itu sejak awal tidak pernah ada. Sedangkan merujuk konsep perikatan di BW, apabila sebuah perjanjian tidak memenuhi undur kesepakatan sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian maka akibatnya adalah perjanjian itu dapat dibatalkan. Apabila klausula baku dianggap sebagai bentuk cacat kehendak maka sebagaimana anggapan ini terjadi pada kasus Sumito Y Viansyah Vs PT Securindo Packatama maka perjanian dan transasksinya dapat dibatalkan. Ini artinya bahwa hukum masih mengakui kerberadaan transasksi bisnis tersebut sepanjang belum ada pembatalan dari pengadilan atas perjanjiaan yang melanggar unsur kesepakatan itu.
B. PENGATURAN KLAUSULA BAKU DI NEGARA-NEGARA LAIN
Di negara malta, penggunaan klausula dalam perjanjian konsumen juga mendapat perhatian dari pembuat Undang-Undang. Malta juga menyadari adanya praktek yang menggunakan klausuala dalam perjanjian yang dapat merugikan pihak konsumen. Klausula baku yang merugikan pihak konsumen ini diistilahkan sebagai unfair terms. Berbeda dengan Indonesia, malta memberikan definisi yang jelas mengenai apa yang dimaksud dengan Unfair terms. Pada pasal 45 ayat 1 Maltese consumer affair act 1994 (UNFAIR TERMS IN CONSUMER CONTRACTS - THE MALTESE PERSPECTIVE Paul Edgar Micallef ) :
………………an unfair term as a term in a consumer contract which either on its own or in conjunction with one or more other terms:
- Creates a significant imbalance between the rights and obligations of the parties to the contract (that is the trader and the consumer) to the detriment of the consumer; or
- Causes the performance of the contract to be unduly detrimental to the consumer; or
- Causes the performance of the contract to be significantly different from what the consumer could reasonably expect; or
- Is incompatible with the requirements of good faith.
Unfair terms yang terklasifikasi empat di atas harus mendapatkan alasan yang limitative perihal factor-faktor yang menyebabakan terjdinya kodisi tidak fair. UU konsumen malata juga mengharuskan ada raison d etre dari terjadinya unfair condition dan calim adanya unfair terms pada consumers contract. Raison d etre tersebut meliputi :
article 45(2) lists various factors which must be taken into account namely Maltese consumer affair act 1994:
- The nature of the goods or services being provided for under the contract;
- The time when the contract was concluded;
- All the circumstances attending the conclusion of the contract and all the other terms of the contract or of another contract on which the contract is dependent. These circumstances may include –
a. The bargaining power of the parties
b. Whether a consumer was subjected to undue pressure
c. Whether the lack of knowledge or skill of a consumer was improperly taken advantage of
Menurut sistim hokum konsumen di malta, Penggunaan unfair terms berakibat pada anggapan hokum bahwa klausula yang tidak jujur tersebut tidak menjadi bagian dari perjanjian. Apabila ada klausula baku yang tidak jujur, meski dimasukkan pada perjanjian konsumen, hukum menganggap klausula tersebut tidak dimasukkan. Selain itu, akibat lainnya adalah perjanjian ini tidak memiliki daya ikat kepada konsumen. Apabila dianalogikan dengan sisitim Indonesia sama dengan batal demi hokum. Perjanjian ini selanjutnya hanya mempunyai daya ikat apabila tidak mencantumkan klausula baku yang tidak jujur tersebut.
Article 44(1) of the Act states Maltese consumer affair act 1994 that it is “…unlawful in consumer contracts to use unfair terms, or terms or combination of terms which are unfair in that they have as an object or effect any of the objects and effects referred to in subarticle (2) hereof and any term prohibited as aforesaid inserted in any consumer contract shall be deemed never to have been so inserted.”
Di United kingdom, berdasarkan the Unfair Contract Terms Act 1977, klaim terhadap klausula baku tidak diukur dari segi prosedur dari pembuatan perjanjian sebagimana hal ii di jadikan ukuran di Australia. Aturan di UK lebih memperhatikan aspek substantive dari pada aspek procedural. Apabila ditemukan unfair terms pada kontrak maka hal itu tidak berdampak pada hubungan kontraktual secara keseluruhan. Hubungan kontraktual tetap ada namun akibat hukum yang timbul dari unfair terms pada kontrak konsumen tidak memiliki akibat hukum. Ini artinya yang batal demi hukum adalah klausula yang unfair tersebut. Keberadaan Unfair terms tidak dapat membatalkan perjanjian secara keseluruhan. Prestatie dari klausula yang tidak masuk kategori unfair terms tetaplah memiliki daya ikat hukum antar para pihak.
The Unfair Contract Terms Act 1977 (UCTA) in general incorporates the SOGITA provisions. Whilst it applies to both consumer and business to business contracts (as well as to terms and notices excluding certain liabilities for negligence), irrespective of whether the terms are negotiated or standard, it only covers exclusion and limitation of liability clauses (and indemnity clauses in consumer contracts). It makes certain exclusions or restrictions of no effect at all and subjects others to a test of reasonablenesss (Unfair Terms in Contracts : 2002 The Law Commission of England and Wales (Consultation Paper 166); The Scottish Law Commission )
Unsur reasonableness sangat penting dalam mengidentifikasi adanya unfair terms. Maksud reasonableness adalah the term shall have been a fair and reasonable one to be included having regard to the circumstances which were, or ought to have been, known to or in the contemplation of the parties when the contract was made……… The consequence of a term being found to be unfair is that the contract is viewed as if the term never existed (Report on the practical implementation of Directive 93/13/EEC in the United Kingdom and the Republic of Ireland - Rapporteur: Brian St. J. Collins, University of Ulster, Magee College, Londonderrry, Northern Ireland – Annexe to Minutes for Proceedings of the Conference “The Unfair Terms Directive: 5 years on” – 1-3 July 1999).
Selain itu Inggris juga menerbitkan The United Kingdom Unfair Terms in Consumer Contracts Regulations 1999. Berdasarkan regulasi tahun 1999 ini ada beberapa criteria yang dapat dipakai untuk mengukur unfair terms, akibat hokum bagi konsumen dari penggunaan unfair terms oleh pelaku usaha, dan cara penyelesainnya
Ukuran unfair terms
· …a contractual term which has not been individually negotiated is unfair if contrary to the requirement of good faith, it causes a significant imbalance in the parties’ rights and obligations under the contract, to the detriment of the consumer;
· price setting – provided it is in plain, intelligible language;
· terms defining the product – provided they are in plain, intelligiblelanguage;
· terms required by law or explicitly allowed by law;
· specially negotiated terms
Akibat hukum
· a consumer is not bound by a term which is unfair. The rest of the contract is binding if it is capable of continuing in existence without the unfair term;
· where a term has been drawn up for general use, the United Kingdom Office of Fair Trading (UK OFT) (or the main sectoral regulators and the 200 local authority trading standards services) can seek an undertaking or apply for aninjunction to stop businesses using unfair terms.
Penyelesaian
if a consumer believes a term to be unfair, he or she can take the issue to court
or can use it as defence in court proceedings against them;
Perbedaan dengan hukum Indonesia, di Inggris, menurut Unfair Terms in Consumer Contracts Regulations 1999, lembaga pemerintah semacam lembaga perdagangan berwenang untuk mengentikan bisnis atau kegiatan usaha apabila penggunaan unfair terms telah digunakan sebagai kebiasaan pelaku usaha dalam menjalankan usahanya. Sedangkan di Indonesia sanksi seperti ini tidak ada. UU no 8 tahun 1999 tidk pernah mengatur penggunaan sanksi berupa penutupan kegitan usaha apabila ada pelaku usaha yang menggunakan klausula baku.
Di USA perlindungan terhadap penggunaan unfair terms pada consumers contract diatur melalui statutory unconscionability yang meliputi 51 of 52 States, diadopsi the Uniform Commercial Code. Di USA Makna unsur unconscionability pada penggunaan unfair terms dapat disimak pada kasus Craig Comb and Roberta Toher v. PayPal Inc and Jeffery Resnick v PayPal Inc.
Unconscionability has both procedural and substantive components. Theprocedural component is satisfied by the existence of unequal bargaining positions and hidden terms common in the context of adhesion [standard form] contracts. The substantive component is satisfied by overly harsh or one-sided results that ‘shock the conscience’. The two elements operate on a sliding scale such that the more significant one is, the less significant the other need be. A claim of unconscionability cannot be determined merely by examining the face of the contract; there must be an inquiry into the circumstances under which the contract was executed, its purpose and effect (Craig Comb and Roberta Toher v. PayPal Inc and Jeffery Resnick v PayPal Inc C-02-1227 JF (PVT): United States district court for the Northern District of California ).
Amerika tidak mempunyai undang-undang/legislasi sebagaimana hal itu ada di united kidngdom dan union European. Kasus Craig Comb and Roberta Toher v. PayPal Inc and Jeffery Resnick v PayPal Inc telah berhasil mengidentifikasi adanya unsure unconscionability pada penggunaan unfair terms. Daya tawar/bargaining position yang tidak sama antar para pihak merupakan factor prosedual yang dapat digunakan sebgai alas an untuk melawan unfair terms pada consumers contract.
Di Negara tetangga indonesia yaitu Thailand, telah bergerak maju dibandingkan dengan negara-negara asia tenggara lainnya. Pada tahun 1997, thailand telah mengeluarkan legislsi/UU perihal unfair contract terms. Di Thailand pembahasan unfair terms pada consumers contract mengunnakan dua ukuran sebagaimana itu diterapkan di Australia dan USA. Thailand menggunakan kriteria procedural dan substantive. Pengaturan klausla baku di United kingdom, USA,thailand dan malta ini ternyata berbeda dengan yang ada di new Zealand. New zealand sama sekali tidak mempunyai aturan khusus yang melindungi konsumen dari unfair terms pada consumer contract.
K E S I M P U L A N
Klausula baku potensial merugikan konsumen karena tak memiliki pilihan selain menerimanya. Tidak ada pengaturan jelas perihal larangan perjanjian baku . Namun, ada pengaturan tegas adanya larangan klausula baku tetapi tidak semua perjanjian baku dilarang. Undang-Undang no 8 tahun 1999 hanya melarang klausula baku. Larangan klausla baku diatur dalam pasal 18 UU no 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Kasus Sumito Y Viansyah Vs PT Securindo Packatama menggambarkan bahwa klausla baku bertentangan dengan unsur kesepakatan. Klausula baku tidak mesti dihubungkan dengan syaat sahnya perjanjian tetapi unsur pelanggaran hukum penggunaan klausula baku dapat berdiri sendiri dalam bentuk perbuatan melanggar hukum. Pasal 18 ayat 1 UU no 8 tahun 1999 jelas telah diatur adanya larangan penggunaan klausula baku dengan kualifikasi tertentu yang telah diatur oleh Undang-Undang.
Di negara malta, inggris, thailand, USA, australia Klausula baku yang merugikan pihak konsumen ini diistilahkan sebagai unfair terms. Malta mengkategori unfair terms ke dalam empat kategori. Menurut sistim hokum konsumen di malta, Penggunaan unfair terms berakibat pada anggapan hokum bahwa klausula yang tidak jujur tersebut tidak menjadi bagian dari perjanjian. Di United kingdom, klaim terhadap klausula baku tidak diukur dari segi prosedur dari pembuatan perjanjian sebagimana hal ii di jadikan ukuran di Australia. Aturan di UK lebih memperhatikan aspek substantive dari pada aspek procedural. Apabila ditemukan unfair terms pada kontrak maka hal itu tidak berdampak pada hubungan kontraktual secara keseluruhan. Amerika tidak mempunyai undang-undang/legislasi perihal unfair terms sebagaimana hal itu ada di united kingdom dan union European. Di USA perlindungan terhadap penggunaan unfair terms pada consumers contract diatur melalui statutory unconscionability yang meliputi 51 of 52 States, diadopsi the Uniform Commercial Code. Di USA unfair terms diukur dari unsur unconscionability
D A F T A R B A C A A N
Position paper commission of european consumer
Brussels 27.04.2000: COM(2000) 248 final, Report from theCommission on the Implementation of Council Directive 93/13/EEC of April 1993 on Unfair Terms in Consumer Contracts
Unfair Terms in Contracts (2002) The Law Commission of England and Wales (Consultation Paper 166); The Scottish Law Commission (Discussion Paper 119)
Sutan rehmi syahdini, kebebasan berkontrak dan perlindungan hukum yang seimbang bagi para piohak dalam perjanjian kredit bank di Indonesia; institute banker Indonesia.
Pentony B, Graw S, Lennard J, Parker D (1999) Understanding Business Law 2nd Ed Butterworths (Australia)
Panggabean henry p, penyalahgunaan keadaan sebagai alasan baru untuk pembatalan perjanjian (berbagai perkembangan hukum belanda)
Mr JH NEUWENHUIS, pokok-pokok hukum perikatan yang diterjemahkan oleh Djasadin Saragih SH, LLM
UNFAIR TERMS IN CONSUMER CONTRACTS - THE MALTESE PERSPECTIVE Paul Edgar Micallef, a member of the Malta Consumer Affairs Council and of the Maltese Consumer Association. He is the senior legal adviser to the Malta Communications Authority and has drafted various consumer protection laws for the Maltese Government.
Unfair Terms in Contracts (2002) The Law Commission of England and Wales (Consultation Paper 166); The Scottish Law Commission (Discussion Paper 119)
Report on the practical implementation of Directive 93/13/EEC in the United Kingdom and the Republic of Ireland - Rapporteur: Brian St. J. Collins, University of Ulster, Magee College, Londonderrry, Northern Ireland – Annexe to Minutes for Proceedings of the Conference “The Unfair Terms Directive: 5 years on” – 1-3 July 1999
www.oft.gov.uk/html/about/unfairstandardterms.html
Craig Comb and Roberta Toher v. PayPal Inc and Jeffery Resnick v PayPal Inc C-02-1227 JF (PVT): United States district court for the Northern District of California
Undang-Undang
UU no 8 tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen
Maltese consumer affair act 1994
(www. Hukum online .com)
www. Hukum online.com MA Menangkan Gugatan Pemilik yang Kehilangan Kendaraan, 9 Juni 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar