PENDAHULUAN
Gugatan seorang pasien kepada dokter bisa didasarkan pada unsur kelalaian sebagaimana diatur dalam pasal 1365 BW. Ada dua unsur paling penting dalam pembuktian kelalaian dokter sebagaimana diatur pasal 1365 B.W. yaitu unsur sifat melanggar hukum dan kesalahan. Sedangkan mengkaji kedua unsur ini tidak bisa dilepaskan dari peran standar profesi. Status profesi Dokter menuntut adanya sebuah keahlian yang tinggi, berada dalam kelas terhormat dan memberikan pelayanan dan penuh tanggung jawab sesuai dengan kode etik profesi sebagaimana hal itu dikatakan oleh Firchid bahwa yang dimaksud dengan profesi adalah :
“….A high degree of technical skill, entailing specialized preparation generally at recognized institution of leaning, official regulation and licensure, a strong feeling class honor and solidarity, manifested in vocational association to secure a monopoly of the service, and in code of ethics enjoining the responsibility of the profession to the collective it serves”[1]
Saat ini belum ada standard profesi medis. Organisasi profesi kedokteran juga belum membuat standard profesi medis. Namun di beberapa rumah sakit telah ada standard operating prosedur dalam memberikan pelayanan pengobatan dan keperawatan. Dalam beberapa kasus dugaan kelalaian yang dilakukan oleh profesi dokter menggunakan tolok ukur dari keterangan kolega sesama dokter. Tolok ukur baku dari standard profesi masih menggunakan ukuran-ukuran dalam dunia ilmu kedokteran dan belum terbakukan ke dalam aturan hukum berbentuk peraturan pemerintah ataupun peraturan organisasi
Berikut ini keterangan Ikatan dokter Indonesia dalam sidang di mahkamah konstitusi [2]:
” Dokter dalam melakukan pelayanan kesehatan adalah selalu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional (SPO). Standar profesi ukurannya belum baku (dan untuk SPO sendiri berdasarkan standar profesi). Standar profesi harus disesuaikan dengan keahlian, kondisi dan waktu tertentu. Sehingga ukuran dan siapa yang menentukan dokter bekerja tidak sesuai dengan standar profesi adalah belum jelas ”
Perlindungan hukum bagi tenaga kesehatan khususnya dokter merupakan hal penting. Seorang dokter juga membutuhkan rasa aman pada saat menjalankan tindakan pengobatan/perawatan. UUD 1945 Pasal 28G Ayat (1) telah mengatur bahwa Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Pasal ini tentu saja juga berlaku bagi orang yang berprofesi dokter
Pada beberapa kasus di lapangan, dokter dan rumah sakit telah menjadi sasaran atau menjadi pihak yang dianggap bertanggung jawab atas timbulnya kerugian yang diderita oleh pasien. Oleh karena itu, sebagian besar pihak yang menjadi tergugat dalam kasus dugaan malpraktek adalah dokter dan rumah sakit. Tidak jarang, dokter dan rumah sakit harus terbebani oleh tanggung jawab memberikan ganti rugi kepada pasien dengan sistim prosentase pembagian kerugian. Dokter dan rumah sakit yang pada awalnya menjadi pihak yang bekerjasama dalam penyediaan jasa medis, akhirnya berubah menjadi pihak yang saling bertarung di pengadilan. Meskipun dokter dan rumah sakit sama-sama menjadi pihak tergugat, mereka saling bertarung untuk melepaskan diri dari kewajiban memberikan ganti rugi kepada pasien
Tanggung gugat yang lahir dari perjanjian menghasilkan sebuah gugatan wan prestatie. Di lapangan tentu muncul kesulitan untuk mengukur pelanggaran prestatie (wan prestatie) sebuah perjanjian apabila pihak yang dirugikan tidak mampu menunjukkan prestatie apa saja yang terkandung dalam kontrak/perjanjian antara dokter dengan pasien
RUMUSAN MASALAH
Bagaimana mengukur kelalaian dokter dalam tanggung gugat atas dasar 1365 B.W.
PEMBAHASAN
HUBUNGAN YANG LAHIR DARI UNDANG-UNDANG
Perikatan yang terbangun antara dokter partikelir dengan pasien tidak hanya lahir dari perjanjian namun juga lahir dari undang-undang. Perikatan yang lahir dari undang-undang tidak bertolak pada perjanjian yang mengikat dokter partikelir dengan pasien tetapi bertolak pada unsur perbuatan seorang dokter kepada pasiennya. Mariam darus badrulzaman mengemukakan beberapa figure perikatan yang lahir dari undang-undang yaitu[3] :
1. mewakili urusan orang lain (zaakwarneming)
2. pembayaran hutang yang tidak diwajibkan (pasal 1359 B.W)
3. perikatan wajar (natuurlijk verbintenis; pasal 1359 alinea 2 B.W.)
4. perbuatan melawan hukum ( onrechtmatigedaad; psal 1365 B.W.)
Pengaturan tentang Zaakwarneming ada dalam pasal 1354 B.W. yang redaksinya sebagai berikut :
Jika seseorang dengan sukarela, dengan tidak mendapat perintah untuk itu, mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa pengetahuan orang ini, maka ia secara diam-diam mengikatkan dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut, hingga orang yang diwakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusan itu
Ia memikul segala kewajiban yang harus dipikulnya, seandainya ia dikuasakan dengan suatu pemberian kuasa yang dinyatakan dengan tegas
Konsep zaakwarneming sulit diterapkan dalam hubungan dokter partikelir dengan pasien. Sebab dokter tidak mempunyai kekuasaan hukum (rechtbevoeghied) untuk mewakili urusan pasien. Urusan penyembuhan atau pengobatan terhadap orang yang kondinya sakit, tidak dapat diwakilkan kepada dokter karena antara dokter dan orang yang sakit tersebut tidak berada pada pihak yang sama kepentingannya. Memang, menurut sumpah dokter dank ode etik, seorang dokter wajib mengabdi kepada kemanusiaan, namun pengabdian dokter ini terbentuk atas jabatannya sebagai seorang dokter. Kedudukan dokter dan pasien pada hakekatnya berada pada dua sisi yang berbeda, dokter bertugas mengobati atau memberikan perawatan dan pasien berada pada pihak yang membutuhkan perawatan dan pengobatan tersebut. Ditinjau dari segi kedudukannya itu, tidak ada ketersinggungan kepentingan antara dokter dengan pasien. Apabila konsep zaakwarneming diterapkan pada seorang dokter maka bukan karena jabatan dokternya namun karena statusnya sebagai individu/pribadi dalam hal mana sebagai individu/pribadi seorang dokter ini tidak melakukan pengobatan/perawatan kepada orang yang kepentingannya diwakili tersebut tetapi sebagai individu dia membantu mengusahakan pengobatan/perawatan orang yang diwakilinya tersebut kepada dokter lain/penyedia jasa medis lainnya dan bukan kepada dirinya sendiri meskipun dirinya menyandang status sebagai dokter. Kesimpulannya adalah hubungan perikatan dokter partikelir dengan pasien yang lahir dari Undang-Undang tidak dapat dikonstruksikan ke dalam Zaakwarneming sebagaimana diatur dalam pasal 1354 B.W.
Hubungan dokter partikelir dan pasien juga tidak dapat dikategori sebagai perikatan yang lahir dari Undang-Undang akibat perbuatan manusia dengan figure hukum pasal 1359 B.W. dan 1359 alinea 2 B.W.. Pasal 1359 B.W. mengatur pembayaran hutang yang tidak diwajibkan dan pasal 1359 aliena 2 B.W mengatur perihal perikatan wajar. Merujuk pada pengaturan 2 pasal tersebut tidak ada unsur obligatoir pembayaran hutang yang tidak diwajibkan dalam transaksi kepentingan dokter partikelir dengan pasien, sebab jabatan profesi dokter yang melekat pada seorang subyek hukum hanya bertugas untuk mengabdi kepada perikemanusian melalui tindakan pengobatan dan perawatan kepada pasien. Oleh karena itu, sifat prestatie pasal 1359 B.W. tidak sama dengan sifat prestatie yang menjadi obyek dari hubungan dokter dengan pasien. Demikian juga dengan pengaturan pasal 1359 alinea 2, hal mana sifat prestatie dari obyek hubungan dokter partikelir dengan pasien tidak masuk kategori pasal tersebut.
Perikatan lainnya yang lahir dari Undang-Undang akibat perbuatan manusia adalah perbuatan melanggar hukum. Perbuatan melanggar hukum diatur dalam pasal 1365 B.W. yang mengatur bahwa
Pasal 1365 B.W.
Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut
Pada perbuatan melanggar hukum, perikatan yang timbul antara pihak yang satu dengan pihak lain adalah akibat dari adanya perbuatan yang melanggar hukum sebagaimana dikualifikasi oleh pasal 1365 B.W. Sifat norma Pasal 1365 B.W, praktis bisa menjangkau segala perbuatan manusia dengan segala latar belakang, status dan profesi. Dibandingkan dnegan pasal 1359 dan 1354 B.W., pasal 1359 mempunyai daya terap lebih luas. Tidak ada subyek hukum yang tidak melaksakan sebuah perbuatan. Namun, perbuatan saja tidak cukup untuk menjerat sesorang dengan dasar perbuatan melanggar, perlu pembuktian unsur-unsur lain sebagaimana diatur dalam pasal 1365 B.W..
Figur hukum Hubungan dokter partikelir dengan pasien lebih tepat dikonstruksi sebagai sebuah perikatan yang lahir dari Undang-Undang dalam hal mana Undang-undang dan hukum mengatur apa-apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang subyek hukum yang berprofesi sebagai dokter. Pelanggaran oleh subyek hukum yang berprofesi dokter terhadap keharusan-keharusan perbuatan sebagaimana diatur oleh hukum yang mengikat profesi dokter dan pelanggaran hukum tersebut menimbulkan akibat; maka orang yang dirugikan dapat menggugat dokter yang dirugikan dengan dasar pasal 1365 B.W. dengan syarat apa yang dilanggar itu tidak bagian dari kesepakatan yang diperjanjikan
Berkedudukan sebgai dokter partikelir, bisa juga seorang dokter berkedudukan sebagai dokter dalam hubungan kerja. Dokter dalam hubungan kerja ditujukan bagi dokter yang bekerja di sarana kesehatan untuk mempraktekkan ilmunya dalam rangka memberikan pertolongan kepada individu-individu. Leenen mengkategori dokter dalam hubungan kerja ke dalam dua kategori yaitu, pertama dokter yang bekerja secara langsung dalam memberikan pertolongan secara individual dengan dokter yang mempunyai kewajiban kemasyarakatan. Kategorisasi yang dibuat oleh leenen tidak lepas dari pengaruh pengaturan lembaga tata tertib medis pusat di belanda tanggal 17 april 1952 yang menyatakan bahwa
….” Undang-undang tata tertib medis itu berlaku bagi para dokter dalam hubungan kerja , akan tetapi dalam penafsirannya orang harus membuat perbedaan anatara tindakan untuk mempraktekkan ilmu kedokteran dalam arti memberikan pertolongan dan tindakan yang dilakukan oleh seorang dokter untuk melaksanakan tugas-tugas pengawasan dan tugas-tugas jabatan”[4].
Undang-Undang no 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran, tidak secara eksplisit mengatur perihal status dokter dalam hubungan kerja ini. Roh atau semangat pembentuk undang-undang ini lebih banyak dipengaruhi oleh status seorang dokter sebagai dokter partikelir.
Bertolak pada pasal 39 Undang-Undang no 29 tahun 2004 dapat ditafsirkan bahwa upaya kesehatan (praktik kedokteran) hanya dapat diselenggarakan oleh dokter/dokter gigi kepada dengan dasar kesepakatan (perjanjian). Dengan kata lain, dokter atau dokter gigi diposisikan sebagai penyedia jasa medis dan pasien sebagai pengguna jasa medis. Padahal penyedia jasa medis tidak hanya dokter partikelir namun sarana kesehatan. Pada sarana kesehatan, keberadaan dokter bukan sebagai penyedia jasa medis namun dokter yang berstatus dokter dalam hubungan kerja. Posisi penyedia jasa medis tidak dimiliki oleh seorang dokter namun posisi penyedia jasa medis dimiliki oleh sarana kesehatan. Oleh karena itu, untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif, bagi dokter dalam hubungan kerja yang menyelengarakan praktik kedokteran pada sarana kesehatan, harus memahami pengertian pasal 39 Undang-Undang praktek kedokteran tersebut dan menghubungkannya dengan pengaturan perjanjian kerja sebagaimana diatur dalam B.W. atau peraturan ketenagakerjaan lainnya.
Bagi dokter dalam hubungan kerja pada sarana kesehatan, seorang dokter terikat pada norma perjanjian kerja dengan pihak sarana kesehatan. Penyelenggaraan praktik kedokteran dari seorang dokter dalam hubungan kerja kepada pasien merupakan bagian dari kewajiban menjalankan prestatie dari seorang dokter yang mempunyai hubungan kerja dengan pihak sarana kesehatan. Menurut R. subekti, perjanjian kerja adalah
Perjanjian antara seorang buruh dengan seorang majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri; adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan diperatas (bahasa belanda dierstverhanding) yaitu suatu hubungan berdasarkan mana pihak yang satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak yang lain[5]
Berdasarkan pasal 1601 a B.W. ada beberapa unsur yang terkandung dalam perjanjian kerja (persetujuan perburuhan) yaitu :
1. Ada hubungan majikan dengan buruh dalam hal mana buruh terikat pada perintah majikan
2. Buruh menjalankan perkerjaan
3. Majikan memberikan Upah
4. Hubungan majikan dan buruh dilaksakan untuk jangka waktu tertentu.
Apabila merujuk pada pasal 1601 a B.W., bagi Sarana kesehatan yang menyandung status badan hukum, maka sarana kesehatan dapat menjadi pihak yang memberi perintah kepada seorang dokter dalam penyediaan jasa medis kepada masyarakat. Namun, perintah dari sarana kesehatan kepada dokter tersebut hanya sebatas kepada perintah menjalankan praktik kedokteran/upaya kesehatan kepada individu-individu yang telah ditunjuk oleh pihak sarana kesehatan.
Perintah yang diberikan oleh pihak sarana kesehatan kepada dokter dalam upaya pengobatan/perawatan tidak bersifat mutlak, artinya perintah yang diberikan sarana kesehatan kepada dokter dalam hubungan kerja hanya meliputi dua hal yaitu pertama perintah melaksanakan praktik kedokteran sesuai dengan standard profesi dan standard operating procedure yang telah ditetapkan oleh organisasi profesi maupun yang telah dibuat oleh pihak sarana kesehatan, kedua perintah untuk mematuhi segala aturan keorganisasian internal sarana kesehatan. Meskipun dokter ada dibawah kekuasaan perintah pihak sarana kesehatan, dokter tetap mempunyai hak untuk melaksanakan kebebasan professional sebagai seorang yang menyandang status profesi dokter. Kebebasan professional seorang dokter tidak dapat dipisahkan dari profesi dokter dan kebebasan tersebut hanya dibatasi oleh standard profesi dan standard etik yang ditetapkan oleh organisasi profesi atau diakui sebagai kebiasaan yang berlaku dalam dunia kedokteran. Selain itu, kebebasan professional yang dimiliki oleh seorang dokter dalam hubungan kerja pada saat menjalankan praktik kedokteran harus dilandasi oleh alasan kuat sebagaimana alasan-alasan itu juga berlaku di kalangan organisasi profesi maupun oleh dokter-dokter yang berpengalaman.
Pada hakekatnya, bagi pasien yang meminta jasa medis pada sarana kesehatan, perikatan yang muncul adalah pearikatan antara pasien dengan sarana kesehatan. Sebagaimana sumber perikatan yang terjadi pada hubungan dokter partikelir dengan pasien, perikatan antara sarana kesehatan dengan psien bersumber pada perjanjian dan Undang-Undang. Adanya kesamaan sumber perikatan antara doker partikelir dengan sarana kesehatan disebabkan oleh kesamaan status sarana kesehatan dan dokter partikelir sebagai subyek hukum yang sama-sama menyediakan jasa medis. Oleh karena itu, segala uraian yang telah terurai pada sub-sub bab dokter partikelir perihal hubungan hukum dan segenap penjelasannya juga berlaku untuk sarana kesehatan. Adapun hal yang membedakan adalah unsur akseptasi yang dilakukan oleh pihak sarana kesehatan atas penawaran dari pihak psien. Jikalau dalam hubungan dokter partikelir dengan pasien yang bersumber pada perjanjian, terjadinya akseptasi pada saat anamneses maka sarana kesehatan dianggap melakukan akseptasi pada saat si pasien telah mendapatkan pelayanan pertama kali dari pegawai sarana kesehatan setelah si pasien melakukan pendaftaran kepada pihak sarana kesehatan. Pendaftaran yang dilakukan kepada pihak pasien kepada sarana kesehatan pada hakekatnya merupakan sebuah penawaran.
Bagi dokter yang bekerja pada sarana kesehatan dapat timbul sebuah perikatan dengan pasien manakala dokter tersebut melakukan perbuatan melanggar hukum yang merugikan pihak pasien. Jadi perikatan yang muncul dari dokter dalam hubungan kerja tidak timbul secara otomatis manakala dokter tersebut menjalankan kewajibannya sebagai dokter yang bertatus sebagai pekerja sarana kesehatan. Perikatan dokter dalam hubungan kerja baru tercipta pada saat ada akibat hukum berupa kerugian yang diderita pasien dan kerugian tersebut timbul sebagai akibat dari perbuatan dokter yang melanggar hukum sebagaimana diatur dalam pasal 1365 B.W. Tanggung jawab Perikatan yang diatur oleh pasal 1365 B.W. ini tidak menjadi hapus meskipun awal mula dari tindakan dokter kepada pasien disebabkan oleh tuntutan kewajiban dokter yang terikat perjanjian kerja dengan pihak sarana kesehatan. Perintah kerja yang dibebankan oleh sarana kesehatan kepada dokter menimbulkan perikatan antara dokter dalam hubungan kerja dengan pihak pasien sepanjang perbuatan dokter dalam hubungan kerja tersebut telah menimbulkan dampak kerugian kepada pasien akibat dari perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pihak dokter dalam hubungan kerja pada saat melakukan praktik kedokteran/upaya kesehatan.
SIFAT MELANGGAR HUKUM
Di antara para ahli hukum belum ada kesesuaian pendapat mengenai letak sifat perbuatan melanggar hukum itu sendiri pada unsur kesalahan tersebut. Ada ahli yang berpandangan antara perbuatan sifat melanggar hukum dengan unsur kesalahan adalah terpisah. Namun juga ada ahli hukum yang berpandangan bahwa keduanya tidak dapat dipisahkan. Dalam hubungan pasien dengan dokter/penyedia jasa medis lainnya ( sarana kesehatan), maka untuk mengidentifikasi bentuk kesalahan dokter atau penyedia jasa lainnya maka pembahasan unsur perbuatan melanggar hukum dibahas secara integral sebagai unsur yang berkaitan dengan kesalahan.
Kelalaian merupakan unsur untuk membuktikan sifat melanggar hukum dalam perbuatan melanggar hukum. Kelalaian ini timbul bukan sebagai akibat dari dilalaikannya kewajiban kontraktual dokter kepada pasien tetapi kelalaian timbul akibat dari kewajiban hukum dokter yang dilalaikan. Kelalaian melaksanakan Kewajiban hukum ini tidak sebatas pada apa yang diwajibkan oleh UU tetapi juga kelalaian atas kewajiban bersikap hati-hati, yang sepantasnya dilakukan oleh dokter kepada pasien. Kewajiban hukum yang lahir dari Undang-Undang timbul dari lahirnya Undang-Undang kesehatan dan Undang-Undang kedokteran. Kedua Undang-Undang ini merupakan dasar utama karena dua Undang-Undang ini harus dianggap sebagai Undang-Undang khusus yang mengatur hubungan dokter/penyedia jasa medis lain (sarana kesehatan) dengan pasien.
Keberadaan standar profesi sendiri khususnya standard pelayanan medis yang dikeluarkan oleh pengurus besar IDI dan standard operating procedure yang dikeluarkan oleh rumah sakit telah memiliki karakter sebagai bagian dari hukum dan tidak berada pada posisi antara hukum dan etika lagi. Hal ini bisa disimak dari rumusan pasal 50 UU no 29 tahun 2004 yang mewajibkan dokter untuk mematuhi standar profesi dan standar operating procedure.
Namun Hal ini tidak lantas membuat kejelasan dalam mengukur kesalahan dokter atas kelalaiannya dalam penyelenggaraan praktik kedokteran. Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, bahwa standard profesi yang diatur oleh ikatan dokter Indonesia hanya sebatas pada penyakit. Sedangkan ruang lingkup penyelenggaraan praktik dokter meliputi pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan. Oleh karena itu, standar profesi yang dikeluarkan oleh pengurus besar dalam buku standar pelyanan medisnya hanya menjangkau bagian kecil dari ruang lingkup upaya kesehatan (penyelenggaraan praktik kedokteran) yaitu pengobatan penyakit. Selanjutnya perlu untuk dirumuskan standar profesi untuk ruang lingkup kerja yang lain. Selain itu, meskipun telah tersusun standar profesi tentang penyakit sebagaimana diatur dalam standar pelayanan medis oleh pengurus besar IDI, ketidakjelasan masih tetap muncul terkait dengan sudut pandang pelaksanaan standar tersebut. Sebab standar yang diberikan IDI masih bersifat umum
Selain sifat melanggar hukum, Kesalahan merupakan salah satu unsur dari rumusan norma pasal 1365 B.W. Unsur Kesalahan akan membebankan pertanggungjawaban hukum kepada diri pelaku. Bertolak pada pendapat nieuwnhuis ( pokok-pokok hukum perikatan; djasadin saragih; h. 128), unsur kesalahan timbul karena hal-hal sebagai berikut :
a. Dapat dibebani tanggung jawab
1. Tidak sakit jiwa
2. Telah dewasa
b. Tidak Adanya cacat tubuh
c. Tidak adanya kesesatan (kekhilafan) yang dapat dimaafkan mengenai sifat melanggar hukumnya perbuatan
Dalam konsep hubungan dokter dengan pasien juga dikenal adanya resiko pasien. Melalui konsep ini maka kerugian yang diderita oleh pasien dianggap bukan bagian dari kesalahan dokter namun merupakan resiko yang harus ditanggung oleh pasien itu sendiri. Oleh karena itu dokter atau penyedia jasa medis lainnya tidak layak untuk dimintai tanggung jawab secara hukum. Dalam kepustakaan hukum kedokteran, resiko yang ditanggung pasien ada 3 macam bentuknya [6]:
1. Kecelakaan ( accident, mishap, misadventure)
2. Resiko tindakan mediss ( risk of treatment)
3. Kesalahan penilaian ( error of judgement)
PENILAI KELALAIAN MEDIS
Berdasarkan pasal 66 Jo pasal 68 Undang-Undang no 29 tahun 2004 tentang praktik kedokteran ada empat bentuk penyelesaian terkait konflik dalam hubungan dokter dengan pasien yaitu MKDKI, penyelesaian pidana, penyelesaian jalur perdata dan penyelesaian atas pelanggaran kode etik.
Pasal 66
(1) Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
(2) Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat :
a. identitas pengadu
b. nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu tindakan dilakukan; dan
c. alasan pengaduan
(3) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan
(1) Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak pidana kepada pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian perdata ke pengadilan
Pasal 68
Apabila dalam pemeriksaan ditemukan pelanggaran etika, majelis kehormatan disiplin kedokteran Indonesia meneruskan pengaduan kepada organissi profesi
Apabila bertolak pada rumusan pasal itu, keempat penyelesaian ini bersifat terpisah satu sama lain. Oleh karena itu, dalam satu sengketa medic dimungkinkan terjadinya empat unsur yang bisa dijadikan dasar penyelesaian sengketa medic yaitu, pelanggaran disiplin profesi, pelanggaran hukum pidana, pelanggaran hak keperdataan, dan pelanggaran kode etik.
Oleh karena, bentuk kesalahan dalam penulisan ini adalah adanya unsur kelalaian yang dihubungkan dengan tuntutan adanya kompensasi bagi pihak yang dirugikan, maka pihak yang berwenang untuk menilai adanya kesalahan itu juga bergantung pada institusi mana yang berwenang untuk memutuskan layak atau tidaknya pasien diberikan ganti rugi. Dan, apabila dihubungkan dengan rumusan pasal 66 Jo pasal 68 UU no 29 tahun 2004 maka hal itu berkaitan dengan penyelesaian perdata di pengadilan. Berdasarkan psal 69 ayat 2 UU no 29 tahun 2004, bentuk keputusan majelis kehormatan disiplin kedokteran Indonesia hanya ada dua yaitu, dinyatakan tidak bersalah atau memberikan sanksi disiplin. Selanjutnya psal 69 ayat 3 mengatur sanksi disiplin meliputi tiga hal yaitu :
a. Pemberian peringatan tertulis
b. Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik
c. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi
Berdasarkan pasal 64 UU praktik kedokteran, Khusus untuk penyelesaian pada majelis kehormatan disiplin kedokteran Indonesia ini diperuntukkan bagi dokter dan dokter gigi. Bagi pelanggaran yang dilakukan oleh sarana kesehatan maka tidak bisa menggunakan saluran penyelesaian ini. Kalaupun seorang dokter dalam hubungan kerja diperiksa oleh MKDKI maka pemeriksaan dokter ini dalam kapasitasnya sebagai subyek hukum sendiri yang berprofesi sebagai dokter. Begitu juga dengan penyelesaian atas pelanggaran kode etik kedokteran.
Oleh karena kelalaian merupakan sebuah konsep dalam pemberian ganti kerugian maka pihak yang berwenang untuk menilai adanya kelalaian dalam hubungan antara pasien dengan dokter/penyedia jasa lainnya adalah Hakim. Bertolak pada sifat obyek perjanjian dalam halmana juga berhubungan dengan penggunaan jasa profesi yaitu dokter maka hakim tidak dapat sembarangan menentukan adanya unsur kelalaian pada hubungan tersebut. Pelanggaran kewajiban yang dilakukan oleh dokter dalam hubungan upaya kesehatan berdasarkan kontrak atau Undang-Undang yang akhirnya mengakibatkan kerugian merupakan bentuk tidak dipatuhinya standar perilaku dalam hubungan itu. Pada sebagian besar hubungan dokter dengan pasien ada standard perilaku yang hanya diketahui dan dimengerti oleh kalangan profesi itu sendiri yaitu standar profesi kedokteran. Standard profesi kedokteran ini tidak sebatas pada standard yang dikeluarkannya oleh organisasi profesi itu semata namun juga melipuyti segala standar yang lain yang layak mengikat dokter karena profesinya.
Dokter adalah sebuah profesi. Profesi pada hakekatnya adalah suatu lapangan pekerjaan (okupasi) yang berkualifikasi yang menuntut syarat keahlian tinggi kepada para pengemban dan pelaksananya[7]. Menurut soetandyo wignyosoebroto ada tiga cirri dalam sebuah profesi yaitu pertama, profesi dilakukan atas dasar keahlian yang tinggi dan hanya dapat dimasuki oleh mereka yang telah menjalani pendidikan dan platihan teknis yang amat lanjut, cirri kedua, keahlian tersebut berkembang secara nalar dan dikembangkan secara teratur, ketiga profesi itu selalu mengembangkan pranata dan lembaga untuk mengontrol keahlian professional tersebut. Oleh karena itu, untuk menemukan unsur kelalaian khususnya sifat perbuatan yang melanggar kewajiban seorang dokter maka hakim perlu mendengar penilaian dari kalangan profesi itu sendiri. Sebab, ukuran-ukuran pelanggaran kewajiban profesi tidak ditentukan dari ukuran-ukuran dalam pandangan orang umum tetapi dari pandangan yang sebenarnya dari orang yang berprofesi dokter dan berpengalaman.
Sebagai sebuah perbandingan patut disimak praktek pengadilan pada Negara lain dalam pembuktian unsur negligence. Pada kasus Bolam Vs Friern Hospital management Committee[8] yang kemudian melahirkan bolam principle, pengadilan mempertimbangkan dasar penentuan kelalaian pada lembaga profesi yang bertanggungjawab ( di Indonesia misalnya IDI). Selanjutnya pada kasus sideway Vs boards of governors of bethlem royal hospital and the maudsley hospital[9], hakim mengukur kelalaian itu berdasrkan pada pendapat organisasi profesi dan dokter praktek yang berpengalaman. Meskipun pengadilan ( hakim) perlu mendengar dari organisasi sendiri ataupun dari dokter praktek yang berpengalaman, namun sifat keterangan itu hanya merupakan bagian dari proses pembuktian. Penilaian terhadap ada atau tidaknya unsur kelalaian tetap bergantung pada penilaian hakim yang mengadili perkara tersebut.
Merujuk pada pasal 66 UU praktek kedokteran, sengketa medik memiliki empat unsur yaitu, pertama sengketa medic yang timbul dari adanya tindak pidana, kedua sengketa medic yang timbul dari pelanggaran hak keperdataan, ketiga sengketa medic yang timbul dari pelanggaran disiplin profesi, keempat sengketa medic yang timbul dari pelanggaran kode etik profesi. Keempat unsur ini mempunyai saluran sendiri-sendiri. Oleh karena itu, Putusan hakim untuk menilai ada atau tidaknya unsur kelalaian tidak digantungkan pada keputususan bersalah dari lembaga lain yaitu pengadilan pidana, MKDKI ataupun MKEK. Hakim yang mengadili kasus perdata berwenang untuk menilai sendiri dengan kualifikasi yang hakim buat sendiri.
Terkait dengan issue hukum instansi mana yang berwenang menilai, maka hal itu berkaitan erat dengan institusi mana yang dituju oleh pasien untuk menegakkan hak-hak pasien. Penegakkan hak-hak pasien berhubungan erat dengan teknik bnetuk pengaturan hak-hak pasien. Di tinjau dari aspek legislative techniques for dealing with patient rights[10], pengaturan hak-hak pasien di Indonesia mempunyai kemiripan dengan yang diatur di Belanda, Lithuania dan Prancis. Di tiga negara ini klaim terhadap dokter atas pelanggaran hak-hak perdata di serahkan kepada pengadilan perdata ( civil court). Ini berbeda dengan Iceland, finland dan denmark dalam hal mana hukum adminsitative mereka melarang tindakan mengambil langkah hukum secara langsung terhadap penyedia jasa pelayanan medis. Dalam konteks administrative law, pemerintah mempunyai tugas untuk melindungi dan mensosialisasikan hak-hak pasien. Berbeda lagi dnegan perancis, dalam hal mana pengadilan perdata dan pengadilan administrasi berhak untuk mengadili penegakan hak-hak keperdataan pasien. Tergantung pada status penyedia jasa medis apakah berstatus publik atau swasta.
FUNGSI YURIDIS STANDAR PROFESI
Saat ini belum ada definisi hukum tentang standard operating prosedur. Definisi keduanya dijelaskan pada penjelasan pasal 50 namun keberadaan pasal 50 tersebut hanya sekedar untuk menjelaskan perihal perlindungan hukum bagi dokter. Menurut pasal tersebut, standard profesi adalah batasan kemampuan ( knowledge, skill and professional attitude) minimal yang harus dikuasai oleh seorang individu untuk dapat melakukan kegiatan profesinalnya pada masyarakat secara mandiri yang dibuat oleh organisasi profesi. Dan, masih menurut pasal yang sama, yang dimaksud standard prosedur operasional adalah suatu perangkat instruksi/langkah-langkah yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin ; standard prosedur operasional memberikan langkah yang benar dan terbaik berdasarkan consensus bersama untuk melaksanakan berbagai kegiatan dan fungsi pelayanan yang dibuat oleh sarana pelayanan kesehatan berdasarkan standard profesi. dan standard operating procedure.
Telah disinggung sedikit pada bab II, sub bab C tentang hak dan kewajiban dokter, menurut leenen norma dari standard professional adalah Hati-hati menurut tindakan standard medis dari rata-rata dokter yang berpengalaman di dalam bidang yang sama, yang dalam keadaan yang sama akan menggunakan sarana-sarana yang sifatnya wajar dihubungkan dengan dengan tujuan perawatan yang sifatnya kongkret[11]. Dalam rangka memahamai standar profesi patur disimak keterangan ikatan dokter Indonesia dalam sidang di mahkamah konstitusi :
“…….IDI mempunyai anggota lebih dari 70 ribu anggota, yang tersebar dari Sabang sampai Merauke …………. saat ini sesuai dengan AD/ART IDI, merupakan organ di lingkungan IDI yang dapat bertindak keluar untuk dan atas nama organisasi. Saat ini, IDI memiliki 325 IDI Cabang (di tingkat Kabupaten/Kota), 32 IDI Wilayah (di tingkat Provinsi), 32 Perhimpunan Dokter Spesialis (dan kolegium-kolegiumnya), 37 Perhimpunan Dokter Seminat serta 1 Perhimpunan Dokter Pelayanan Primer (di Tingkat Nasional)……………….. Dokter dalam melakukan pelayanan kesehatan adalah selalu sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional (SPO). Standar profesi ukurannya belum baku (dan untuk SPO sendiri berdasarkan standar profesi). Standar profesi harus disesuaikan dengan keahlian, kondisi dan waktu tertentu. Sehingga ukuran dan siapa yang menentukan dokter bekerja tidak sesuai dengan standar profesi adalah belum jelas”.[12]
Antara standard profesi dengan standard pelayanan medis adalah hal yang berbeda. Berdasarkan pasal 44 UU praktek kedokteran Dokter dalam menyelenggarakan praktik kedokteran wajib mengikuti standard pelayanan dalam hal mana menurut pasal 39-nya meliputi pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan. Ikatan dokter Indonesia sendiri telah mempunyai standar pelayanan medis namun isinya hanya sebatas pada pengobatan penyakit. Standard pelayanan medis yang dikeluarkan oleh ikatan dokter Indonesia tersebut meliputi Bedah, bedah anak, bedah ortopedi, bedah saraf, bedah urologi, bedah plastic, penyakit dalam, paru, penyakit anak, THT, saraf, mata, kulit dan kelamin, unit rehabilitasi medis, anestesiologi, radiologi, patologi, patologi klinik, mikrobiologi klinis.
Apabila dibandingkan antara SK menkes no 436/Menkes/SK/VI/1993 dengan UU no 29 tahun 2004 praktek kedokteran dan standar pelayanan medis yang dikeluarkan oleh pengurus Besar ikatan dokter indonesia maka standar pelayanan medis dipahami secara sendiri-sendiri oleh masing masing aturan yang mengaturnya. Tidak ada sistim pelayanan yang saling berhubungan satu sama lain. Hal ini tentu berimplikasi pada pertanggungjawaban yang berbeda-beda dalam setiap pola kasus yang melibatkan dokter dengan pasien atau rumah sakit dengan pasien atau pihak-pihak yang bekerja dirumah sakit tersebut ( selain dokter) dengan pasien.
Oleh karena itu dalam membahas pertanggung gugatan dokter dalam kasus malpraktek maka harus diperjelas terlebih dahulu peran yang dilakukan oleh seorang dokter dalam kasus merugikan pasien tersebut. Sebab tidak dalam setiap aspek pelayanan rumah sakit melibatkan dokter yang secara langsung berhubungan dengan pasien. Sebaliknya, dokter yang bekerja di rumah sakit yang berhubungan secara langsung dengan pasien tersebut, dalam bekerja juga berhubungan dengan system pelayanan lainnya yang ditetapkan oleh rumah sakit. Apa yang dilakukan oleh dokter kepada pasien dirumah sakit merupakan condition sine quanon dari sistim pelayanan kerja yang ditetapkan rumah sakitdalam hal mana sistim kerja pelayanan tersebut harus sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit yang telah ditetapkan oleh menteri kesehatan.
Berdasarkan Pasal 53 UU no 23 tahun 1992 Jo Perubahannya tentang kesehatan, tenaga kesehatan berhak memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas sesuai dengan profesinya. Selanjutnya pada pasal 50 UU no 29 tahun 2004, perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional merupakan hak dari seorang dokter. Selanjutnya berdasarkan pasal 53 ayat 4 UU kesehatan, ketentuan mengenai standard profesi bagi tenaga kesehatan ditentukan oleh peraturan pemerintah dan sampai saat ini belum ada peraturan pemerintah yang mengatur tentang standard profesi. Oleh karena itu, standar profesi yang berkaitan dengan profesi dokter hanya diatur dalam bentuk pengaturan standar pelayanan medis dari pengurus besar ikatan dokter Indonesia dan standar pelayan rumah sakit dalam hal mana dalam standar pelayanan rumah sakit tidak hanya mengatur dokte saja tetapi juga karyawan-karyawan rumah sakit lainnya. Dan, standard rumah pelayanan sakit tersebut tentu disusun harus merujuk berdasarkan standard pelayanan medis yang dibuat oleh pengurus Besar IDI. Oleh karena, Standar pelayanan medis yang disusun oleh IDI hanya sebatas pada penyakit maka tentu saja, maka keharusan membuat standar operating procedure bagi rumah sakit sebagaimana diamanatkan oleh UU no 29 tahun 2004 pada bagian penjelasan pasal 50 hanya sebatas pada penyakit semata.
IDI tidak memasukkan manajemen dalam perawatan sebagai bagian dari standar profesi , padahal menurut leenen tujuan ilmu hukum kedokteran ada 3 yaitu :
1. Untuk menyembuhkan dan mencegah penyakit
2. Untuk meringankan penderitaan
3. Untuk mendampingi pasien, termasuk juga kedalam pengertiannya yaitu mendampingi menuju ke kematiannya
Ini artinya dalam hubungan dokter dengan pasien tidak sebatas pada tindakan sebagaimana diatur dalam standar pelayan medis yang diatur oleh IDI, namun tindakan dokter dapat bersifat luas dalam rangka mencapai tujuan ilmu kedokteran itu sendiri. Oleh karena itu pemahaman tentang standar pelayan medis juga harus luas.
PENUTUP
KESIMPULAN
Mengukur kesalahan dokter sebagai penyedia jasa atau pekerja harus didasarkan pada ada atau tidaknya unsur kelalaian. . Unsur kelalaian ini diukur dari ada atau tidaknya sifat perbuatan melanggar hukum dari tindakan dokter. Selanjutnnya dihubungkankan dengan kemampuan untuk bertanggungjawab. Penilaian atas terjadinya kelalaian menjadi kewenangan mutlak hakim. Apabila hakim dalam persidangan mendengar dari organisasi profesi ataupun dokter praktek yang berpengalaman maka sesungguhnya langkah itu dalam rangka pembuktian. Sebab Dokter sebagai sebuah profesi mempunyai ukuran-ukuran tertentu dalam halmana tidak semua orang bisa memahami. Hanya orang-orang di kalangan profesi itu yang dapat menilai. Tentu saja penilaian rekan profesi ini tidak mampunyai makna apa-apa jika tidak mendapatkan status hukum/dikuatkan dari hakim yang mengadili perkara tersebut
SARAN
Perkembangan hukum kedokteran di Indonesia menuntut Indonesia memiliki standar profesi. Standar profesi tidak sebatas pada penyakit namun juga standar pelayanan medis secara keseluruhan. Hal itu sangat berdampak bagi perlindungan hukum bagi profesi dokter. Sehingga dokter mempunyai kepercayaan diri pada saat menjalankan upaya kesehatan tanpa dibayang-banyangi dengan ancaman adanya gugatan kepada pasien. IDI harus segera membentuk standard profesi sebagaimana diamanatkan oleh Undang-undang praktek kedokteran
DAFTAR PUSTAKA
Ameln Fred, Kapita Selekta Hukum Kedokteran, Grafika Tama Jaya, tahun 1991
Bermawi, Hukum perdata Eropah, balai Pustaka- djakarta
Cathetrine Elliot and frances Quinn, tort Law, pearson education limited, fourth edition,
Darus Badrulzaman Mariam, K.U.H. perdata buku III hukum perikatan dengan penjelasan, Penerbit ALUMNI, 1983, Bandung
Devereux john, Australian medical law, second edition, Cavendish publishing,
…………, Informed Consent Dan Informed Refusal, edisi III, fakultas kedokteran UI, tahun 2003, Jakarta
…………Dokter dan Hukum, Penerbit Monella, Tanpa tahun, Jakarta
Guwandi J, Trilogi Rahasia kedokteran, Fakultas kedokteran Universitas Indonesia, tahun 1992, Jakarta
G. smith Russell, crime In the professions, Ashgate, tahun 2002,
Hanafiah Jusuf Amir Amri, etika kedokteran dan hukum kesehatan, edisi 3, EGC, tahun 1999,
Koeswadji Hermien Hadiati, Hukum dan masalah Medik,
---------------------------------, Hukum Kedokteran (studi tentang hubungan hukum dalam mana dokter sebagai salah satu pihak, PT citra aditya Bhakti cetakan I, tahun 1998,
---------------------------------, Hukum untuk perumahsakitan, cetakan I, citra aditya Bakti, tahun 2003,
Komalawati Veronica, Hukum Dan Etika Dalam Praktek Dokter, Pustaka Sinar Harapan, tahun 1989, Jakarta
-------------------------, Peranan Informed Consent Dalam Transaksi Terapeutik, PT Citra Aditya Bhakti, cetakan II, tahun 2002, Bandung
Leenen H.J.J. dan lamintang A.F., pelayanan kesehatan dan Hukum, bina Cipta, tahun 1991, Bandung
Loude J.Z dan Riwoe S, Ajaran Umum perikatan dan persetujuan menurut Undang-undang Hukum perdata, Cv Kasnendra Suminar, tahun 1983, Surabaya
Meliala Djaja S, Masalah itikad baik dalam KUH perdata, Bina Cipta, Tahun 1987, bandung
Pohan Marthalena, Tanggung gugat Advocaat, dokter dan notaries, PT Bina Ilmu, Tahun 1985, Surabaya
Soekanto S., Pendidikan Hukum, Penelitian Dan Profesi Yang Berhubungan Dengan Hukum, Majalah Hukum dan Keadilan Tahun ke IV, no 5-6, 1985
--------------, Segi-Segi Hukum Hak Dan Kewajiban Pasien, Mandar Maju, tahun 1990, Bandung.
Tay swee Kian chaterine, Medical Negligence, get the law on your side, times books international an imprint of times media private limited, A member of the times publishing group,
UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116
UU No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42
UU No 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100
Varia Peradilan, Ikatan Hakim Indonesia, Majalah hukum, tahun VI no 69, Juni 1991
Seminar nasional; waspadai mala praktik tinjaun yuridis dan medis diselenggarakan oleh universitas dr soetomo Exist dynamics, didukung oleh raffles medical group dan PERSI
[1] Soerjono Soekanto, Pendidikan Hukum, Penelitian Dan Profesi Yang Berhubungan Dengan Hukum, Majalah Hukum dan Keadilan Tahun ke IV, no 5-6, 1985
[2] Keterangan ikatan dokter Indonesia dalam sidang di mahkamah konstitusi dan dikutip dari Putusan mahkamah konstitusi no 4/PPU-5/2007
[3] Darus Badrulzaman mariam Op cit halaman 136.
[4] Leenen dan lamintang Op. cit, halaman 73
[5] Subekti, aneka perjanjian, penerbit alumni
[6] Guwandi J, Dokter dan Hukum, penerbit Monella , Jakarta, tanpa tahun, halaman 15
[7] Soetandyo Wignjosoebroto, profesi dan profesionalisme, sebuah tinjauan social budaya, dikaitkan secara khusus dengan masalah perkembangan profesi hukum di Indonesia, Yuridika, no 6 tahun VI, November-desember 1991
[8] Chaterine tay swee kian Op cit, p. 52
[9] Chaterine tay swee kian Op cit, p. 57
[10] Dimo Illiev dan Mikko Vienonen Op Cit, Page 15
[11] H.J.J Leenen Op cit halaman 44
[12] Keterangan yang secara resmi diberikan oleh ikatan dokter Indonesia dalam sidang di mahkamah konstitusi, dirujuk dari putusan mahkamah konstitusi no Nomor 4/PUU -V/2007
Online Casino 2021 - KADG PINTAR
BalasHapusThe 1xbet korean best online casino sites 온카지노 & gambling websites. 메리트 카지노 쿠폰 Play casino games online. Join and get 100% welcome bonuses & play with real money!